Start A New Life

6.3K 274 0
                                    

Christine POV
3 bulan kemudian
3 bulan sudah aku pergi dari mansion itu. Aku pergi ke New Orleans. Untung saja aku sahabatku semasa kuliahku yang singkat mempunyai rumah disana. Ia dengan senang hati menawariku untuk tinggal.
"Tine, helloo..." teriakan Sophie membawaku kembali ke alam nyata.
" yaa? Kau tadi mengatakan apa?" Tanyaku.
"Kau selalu saja begitu, sejak kau datang. Kau hanya murung, melamun, dan kadang menangis. Jika ada masalah. Katakan pada sahabatmu ini." Kata Sophi dengan wajah cemberut.
"Aku hanya memikirkan, aku tinggal disini secara gratis, aku hanya tidak enak padamu." Kataku bohong.
"Sudah tidak apa-apa. Kita sahabat, sahabat selalu ada setiap sahabatnya mendapatkan kesulitan, tanpa pamrih." Katanya sambil memegang tanganku.
"Aku berfikir untuk mencari pekerjaan, karena masih ada hutang yang harus kubayar." Kataku seraya menghela nafas.
"Kau berhutang? Untuk apa? Berapa?." Tanya Sophie penasaran.
"Ayahku meninggal beberapa bulan lalu, dan aku harus meminjam uang untuk membayar tebusan rumah sakit. Tapi aku sudah bisa membayar sedikit, jadi sisanya menjadi yah.. 11.300 dollar." Kataku sambil menunduk.
"Aku turut berduka, aku tidak tahu soal itu." Kata Sophie menyesal. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman.
"Begini saja, hutangmu aku yang melunasinya. Jadi kau tidak akan murung lagi." Katanya sambil sumringah.
"Tidak tidak tidak, aku tidak mau berhutang lagi dan memberatkan orang lain lagi." Kataku menolak.
"Anggap saja ini balas budi, kau lupa, dulu saat aku kesulitan biaya kuliah, ayahmu membantu menebuskan biaya kuliahku, dan nominalnya jauh diatas hutangmu. Ayolah, jika kau merasa tidak enak, silahkan kau cari pekerjaan. Dan kau bisa membantuku dalam hal lain." Katanya lagi
Aku menimbang-nimbang perkataannya, ya dulu ayah pernah membantunya membayar uang kuliah. Karena ia berkuliah di jurusan kedokteran hewan dan membutuhkan biaya yang luar biasa. Ayahku tak mau melihat seorang anak putus dalam pendidikan dan membayar lunas tagihan itu.
"Hmm.. okay.." kataku akhirnya. Ia berteriak girang mendengarnya.
"Thanks Sophie, your my bestest friend." Lanjutku sambil memeluknya.

Aaron POV
Ini sudah 3 bulan semenjak ia pergi dariku. Ia pergi. Entah mengapa aku merasa hatiku sangat kosong mengetahui ia pergi tanpa berpamitan padaku. Saat mengetahui ia pergi, aku marah dan bertanya pada Jack dan May. Tapi mereka hanya menggeleng.
Entah perasaan apa ini yang mengantuiku.
Apa dia sakit hati melihat Jenny menciumku waktu itu. Kenapa? Aku dan Christine tidak memiliki hubungan apapun. Tapi kenapa perasaan bersalah ini selalu ada? Kenapa aku bingung saat dia tidak ada?
Aku biasa bergonta-ganti pasangan. Aku biarkan wanita mendekat dan memperlakukanku seperti yang mereka inginkan. Aku tak pernah terbawa perasaan, sampai dia datang, dan kini dia pergi.
Sejak itu aku jadi tidak fokus dalam hal apapun. Aku menghentikan kebiasaan kencanku dengan semua wanita, aku cuti dari rumah sakit dengan alasan kesehatan.
Aku sedang duduk sambil menghisap sebatang rokok di sofa pinggir kolam berenang saat May menghampiriku.
"Tuan, bisakah anda berhenti merokok?" Ucapnya.
"Tidak." Jawabku singkat.
"Tuan, kadangkala kita harus meruntuhkan ego kita, agar dapat merasakan perasaan kita yang sesungguhnya. Jangan siksa diri anda dengan terus berpura-pura tidak merasakanya." Kata May sambil bangkit berdiri lalu pergi.
Aku terpaku. Apa maksud May, aku jatuh cinta padanya? Atas dasar apa? Aku mengacak rambutku kasar. Terlalu lelah untuk memikirkan ini. Aku beranjak ke kamarku dan tidur.

"Aku janji akan kembali, dan aku janji akan menjadi dokter dan akan selalu menjagamu."
Aku terbangun untuk kesekian kalinya dalam 2 minggu terakhir. Aku mengalami mimpi yang sama, namun alur cerita yang berbeda. Tapi, pada penghujung mimpi, akan ada seorang anak laki-laki yang memeluk anak perempuan dan mengucapkan janji yang sama, yaitu akan menjadi seorang dokter dan berjanji menjaganya. Namun anak laki-laki itu kemudian pergi, jauh sekali sampai bayangan anak perempuan itu tidak terlihat lagi. Aku meneguk segelas air yang ada di nakas dan segera beranjak untuk mandi.
Aku mengendarai mobilku menuju ke sebuah rumah kecil di pinggiran Seattle. Aku turun dari mobilku dan mengetuk pintu rumah itu. Seorang wanita tua membukanya dan begitu ia melihatku, ia sangat senang. "Aaron, my boy. I miss you so much." Ucapnya sambil memelukku.
" I miss you too mom." Jawabku membalas pelukannya.
Kami melangkah masuk menuju ruang tamu. Aku melihat foto-foto yang terpajang diatas perapian. Fotoku bersama ayah dan ibuku. Fotoku saat memenangkan berbagai lomba. Aku tersenyum melihat kenangan-kenangan itu.
"Mom, bisa kau ceritakan lagi di hari kau mengadopsi aku?." Tanyaku pada ibu. Ya. Aku memang di adopsi oleh keluarga Harris. Aku menyadarinya saat aku memasuki sekolah menengah pertama. Saat aku menyadari bahwa ayah dan ibukku tidak mempunyai satupun foto saat aku masih bayi. Well itu hal yang wajar, mungkin saja waktu aku bayi mereka tidak memiliki kamera. Namun reaksi mereka saat aku bertanya yang membuatku curiga dan mendesak mereka untuk bercerita.
"Ceritanya akan sama Aaron, aku mengadopsimu dihari aku kehilangan bayiku. Ayah dan ibu kandungmu meninggal dalam kecelakaan. Saat itu kita berada dirumah sakit yang sama. Dan kau sama sekali tidak ingat apapun. Jadi kami mengadopsimu m. Agar kami tidak terpuruk dalam kesedihan." Jawab mom sambil matanya menatapku.
"Apakah aku tidak membawa sesuatu? Tanda pengenal? Tas? Buku? Atau apapun?" Tanyaku lagi.
Mom seperti berusaha mengingat-ingat.
"Sebentar, aku akan mengambilkannya dulu." Sahut ibu kemudian beranjak kekamarnya. Lalu keluar membawa sebuah foto. Aku melihatnya, foto seorang anak perempuan, mungkin umurnya sekitar 9 tahun. Anak yang ada didalam mimpiku.
"Hanya ini yang kau bawa disakumu. Sisanya sudah habis terbakar di mobil saat kecelakaan. Beruntung kau selamat, hanya mengalami luka kecil." Kata ibu dengan wajah murung.
"Mom, jika aku tak ingat apapun saat itu, menurutmu bisakah ingatan itu kembali dalam suatu bentuk. Ngee.. mimpi misalnya?" Tanyaku.
Mom tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Itu kan ilmu kedokteran yang bisa menjawabnya." Jawab mom.
Aku terdiam dan hanya bisa tersenyum menanggapi jawaban ibukku. Lalu mendekat dan meletakkan kepalaku di pangkuannya.
"I love you mom." Sambil memenjamkan mataku.
"I love you too my boy." Jawabnya.

I'm in love with you, doc!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang