Tiga Puluh Empat

425 37 2
                                        

"I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I love you for a thousand more"


A Thousand Years - Christina Perri

~

Alya terbengong di bangku taman sambil menggenggam erat-erat i-pod di tangannya. Ingin sekali ia menangis saat ini. Tetapi, entah stok air matanya sudah ludes atau bagaimana, ia tidak tahu, yang pasti ia tidak bisa meneteskan satu tetes air mata pun.

Tiba-tiba sesuatu menghalangi pandangannya, membuat Alya mau tak mau mengembalikan semua kesadarannya dan mendapati seseorang menyodorkan es krim kepadanya. Alya mendongak untuk mengetahui pelakunya dan ternyata adalah Lio.

Alya tersenyum sekilas. "Untukku?" tanyanya.

"Nggak. Untuk nenek moyangmu," jawab Lio sekenanya. Alya berdecih kemudian menerima uluran es krim dari Lio.

Tanpa meminta ijin, Lio duduk di sebelah Alya. Dan tanpa ijin juga, Alya menyenderkan kepalanya ke bahu kiri Lio. Awalnya Lio terkejut, seakan mengetahui pikiran Lio, Alya langsung membuka percakapan.

"Mau denger lagu gak?" tanya Alya sambil mengangkat kepalanya sejenak. Lio hanya mengangguk kecil. Alya melepas earphone sebelah kanannya lalu memakaikannya ke telinga Lio sebelah kanan.

Lagu 'A Thousand Years' mengalun di telinga mereka. Baik Alya maupun Lio menikmati tiap detik dari lagu tersebut. Lio hanya menatap lurus sambil terdiam, entah apa yang ada di pikirannya. Begitu juga Alya. Bahkan ia melupakan es krim pemberian Lio hingga tiba-tiba es krim tersebut terjatuh.

Alya terkaget kemudian langsung bangkit sambil melepaskan earphonenya lalu membersihkan es krim tersebut dan membuangnya. Iya, membuangnya. Toh sudah jatuh. Mau bagaimana lagi?

"Maaf Yo," ucap Alya. Lio tersenyum tipis menanggapi perkataan Alya.

"Nggak masalah. Gimana kalo kita pulang aja? Aku anter kamu deh," ucap Lio lalu bangkit dari duduknya. Alya menatap Lio sejenak kemudian menggeleng.

"Kita jalan-jalan dulu, yuk."

"Iya tap—"

"Eh bentar, gue dapet telepon," ucap Alya sambil meraih ponselnya dari dalam kantong jaketnya. "Halo?"

"Alya? Ntar sibuk gak?" tanya suara di seberang.

"Nggak sih. Kenapa?"

"Seperti harapanmu, bentar lagi kakakmu, Kak Aldi bakal nikah. Dan rencananya besok tunangan dulu, trus nanti bakal ada urutan acara lain. Kamu harus ikutan bantu. Bantu Kak Laras nyiapin segalanya."

"Ah? Kok aku baru tau, ma?"

"Iya, lupa ngasih tau kamu. Yang pasti, ntar pulang jangan malem-malem ya, untuk bantuin Kak Laras."

"Kenapa mesti aku? Kan ada Kak Alin," ucap Alya ketus, kesal karena ia baru diberi tahu.

"Iya soalnya Alin lagi sibuk tuh sama pacarnya. Mama gak tega ganggu," ujar mamanya. Alya menghela napas mendengar jawaban mamanya.

"Ya ma." Lantas Alya menutup sambungan teleponnya lalu memasukkannya kembali ke kantomg jaket.

"Siapa?" tanya Lio.

"Mama. Nggak penting kok. Yuk."

"Ke mana?"

"Ke mana aja. Terserah kamu. Tapi kita terbang ya."

...

"Ck. Kok aku gak bisa-bisa sih?!" seru Alya kesal sambil melemparkan satu kerikil lagi ke arah danau. Dan kerikil itu langsung tenggelam (lagi) bukannya meloncat seperti yang diinginkannya.

Kutukan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang