Dua Puluh Dua

449 57 18
                                        

Tak lama, ia menemukan sosok yang tak asing lagi di matanya. Ia segera meraih sosok itu dan membawanya ke daratan.

Lio bersimpuh sambil menaruh kepala Alya di atas pangkuannya. Matanya menatap tak percaya ke arah sesuatu yang berada di dekapannya itu.

"Tidak..." batin Lio.

"Dia sudah mati. Apa kau melihat arwahnya? Aku harus mengajaknya pulang," ucap seseorang tiba-tiba, membuat Lio langsung menoleh ke sumber suara.

JDAR!

Petir menyambar-nyambar, seakan mengiringi langkah seseorang dengan pakaian serba hitam dengan jas dan topi hitam, ia menghampiri Lio. Seseorang itu tampak berjongkok di dekat kaki Alya.

"Tuh, dia udah mati. Tapi nyawanya masih setengah di dalam kayaknya," ucapnya dengan santai. Lio menatap orang itu dengan tatapan tajam. "Aku ambil nyawanya sekarang yah?" lanjutnya.

"Tidak boleh," kata Lio dengan nada yang seakan tidak ingin dibantah.

"Lho? Kok nggak? Ini kan tugasku. Mau kamu tanggung jawab kalau nanti aku dihukum dewa?"

"Nggak bakal dihukum."

"Cih. Malaikat cinta yang lembek kayak kamu mana mungkin bisa menanggung hukuman yang diperuntukkan malaikat maut?"

"Justru kalau kamu ambil nyawanya, aku yang bakal kena hukum. Nama dia masih ada di amplopku," ucap Lio dengan tatapan yakin. Seseorang yang notabene malaikat maut itu terdiam sesaat.

"Jadi...?"

"Jadi kamu nggak boleh ambil nyawa dia."

"Yah... kalo aku ngga ngambil nyawa dia, dia bakal luntang-lantung di alam bawah sadarnya. Dia bakal terus menonton kilasan masa lalunya," ucap malaikat maut, kemudian ia menyeringai. "Atau yang lebih buruk, dia akan menghilang selama-lamanya."

..

"Baiklah, mari aku jelaskan," ucap gadis itu lalu menjulurkan tangan kanannya. Awalnya Alya tampak ragu untuk menyambut uluran tangan itu. Tapi akhirnya ia menurutinya juga.

Tiba-tiba ia tersedot ke dalam sebuah pusaran besar. Hal itu berefek, membuat kepala Alya menjadi sedikit pening. Hingga ia merasa terjatuh di suatu tempat.

"Putri! Tuan Putri Alika! Bangun!" seru seseorang sambil mengguncangkan tangan Alya. Dahi Alya mengernyit.

"Alika?" batin Alya. Tapi ia masih tetap menutup matanya. Karena entah mengapa, rasanya nyaman.

"Tuan Putri! Ingatlah sekarang hari pernikahan putri dengan pangeran mahkota!" seru seseorang itu lagi. Mendadak mata Alya terbuka lebar. Ia langsung terbangun dan mengganti posisi tidurnya menjadi duduk.

"YASH!!" seru Alya tanpa sadar. "Kenapa aku kayak gini?" batin Alya bertanya-tanya.

"Karena tuan putri sudah bangun, saya akan menyiapkan pemandian anda sekarang. Mohon menunggu beberapa saat," ucap seseorang tadi lalu undur diri. Alya hanya mengangguk.

Sepeninggalnya orang tadi dari ruangan itu, Alya langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan.

"Anju. Keren," batin Alya mengagumi ruangan itu. Alya berjalan perlahan menyentuh pernak-pernik yang terlihat sangat kuno namun elegan. Jiwa artistik Alya mulai bangkit melihat benda-benda itu. Ia sempat berkeinginan untuk memotret segala hal yang ada di sana. Tapi ia baru ingat, ini bukan rumahnya.

Hingga Alya berjalan melewati cermin. Ia segera berhenti di depan cermin itu. Ia meneliti setiap inci dari wajah yang tampak di cermin itu, seingatnya, wajahnya tak seperti itu.

Kutukan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang