Dua Puluh Tiga

451 59 19
                                    

"Daniel?" ucap Alya dengan suara parau.

Suara Alya terngiang-ngiang di telinga Lio. Tiba-tiba ia melihat seperti kilasan-kilasan film di dalam benaknya yang entah datangnya darimana. Lio terbengong beberapa saat, setelah kilasan-kilasan itu berakhir. Hingga ia disadarkan karena suara seseorang.

"Dasar, brengsek!" seru seseorang. Lio langsung menoleh ke sumber suara. Sedangkan Alya tidak mampu untuk mengangkat kepalanya dari dekapan Lio. Jadi, ia hanya terkulai lemas di sana.

"Lihat? Aku tidak akan menyerahkan dia," ucap Lio kepada malaikat maut.

"Bagaimana aku menjelaskannya pada dewa?!" Lio mengendikkan bahunya.

"Coba cek kembali amplopmu. Apakah namanya masih di sana?" Orang itu pun menurut dengan merogoh saku jasnya lalu meraih sebuah amplop dari dalamnya.

Ia menarik semua kartu hitam yang ada di sana. Kemudian menemukan sebuah kartu berwarna putih, kosong.

"Tadinya disini tertulis nama Alya," batinnya. Ia langsung meremas kartu itu kemudian membuangnya ke sembarang arah. "Aku pergi," ucapnya kemudian pergi meninggalkan Lio dan Alya. "Kita bertemu lagi, pasangan terkutuk."

Sementara orang itu pergi, Lio langsung mengalihkan pandangannya ke arah Alya. Ia mengelus pelan wajah Alya.

"Kau benar masih hidup?" tanya Lio. Alya ingin sekali menjitak kepala Lio saat ini. Tapi tubuhnya benar-benar tidak ada energi.

"Tolong aku, Daniel."

"Aku akan mengantarmu pulang."

"Jangan."

"Kenapa?"

"Aku hanya akan membuat mereka khawatir."

"Lalu aku harus membawamu ke mana?"

"Ke mana saja."

"Rumah Naura?"

"Jangan. Ibunya tidak akan mengizinkan," ucap Alya. "Tunggu, sejak kapan bahasaku kayak gini?" batinnya. Tapi ia segera menepis semua itu, karena yang terpenting sekarang adalah mendapat pertolongan. Ia merasa kepalanya perih dan pening. 

"Ck. Yasudah. Aku bawa kamu ke apartemenku." Alya hanya memandang Lio dengan tatapan tidak percaya. Tapi tak urung ia tersenyum ke arah Lio.

"Sekarang bagaimana? Kamu bawa kendaraan?"

"Nggak. Kita terbang."

"A-apa? T-t-terbang??" tanya Alya dengan nada yang terbata-bata. Lio hanya mengangguk. Lalu dari punggungnya muncul sepasang sayap bening dan berkilau.

Alya terbelalak ketika melihat sayap Lio mengepak. Lalu ia bisa merasakan bahwa tubuhnya terangkat tinggi dan semakin tinggi.

Jujur, Alya takut dengan ketinggian. Apalagi, ia sempat melihat kilatan petir yang terlihat menyeramkan. Maka, ia tidak berani memandang ke arah manapun. Ia hanya memejamkan matanya sembari mengeratkan cengkramannya pada baju kaos milik Lio.

...

Setelah Riana, Vani, Tia, Sasa, dan Jeany membubarkan diri, Riana tak langsung pulang. Ia malah mampir ke taman kota, padahal hari sudah menjelang malam. Pukul 19.23. Bahkan itu sudah malam.

Ia melangkah gontai ke arah bangku taman, kemudian menaruh bokongnya dengan kasar di atasnya. Pandangannya kosong.

Sejenak, ia memandang ke arah langit. Mendung, sebentar lagi hujan. Tapi Riana tak bergerak sedikitpun dari bangku taman itu.

Ia menengadahkan kedua tangannya di depan mata. "Apa yang ku lakukan?" lirihnya pada dirinya sendiri. Setetes air hujan menetes di atas telapak tangan Riana. Ia segera menengadahkan kepalanya. Hujan sudah turun.

Kutukan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang