Dua Puluh Delapan

424 44 39
                                    

Vani melempar kerikil ke arah danau dengan sekuat tenaga. "KALO LO MATI YA MATI AJA! JANGAN GENTAYANGIN PIKIRAN GUE!" seru Vani entah kepada siapa. Setetes air mata membasahi pipinya. Ia mengacak rambutnya dengan kasar.

"Kenapa jadi begini?" lirihnya. Tubuhnya merosot ke bawah. Ia terduduk di atas tanah. Matanya menatap kosong ke arah danau.

"Pembunuh," bisik sebuah suara. Vani segera menutup kedua telinganya kemudian menekuk kedua kakinya ke depan dan memeluknya dengan kedua tangannya.

Berbutir-butir air mata menjatuhi pipinya. Ia menggelengkan kepalanya kencang-kencang ketika bisikan itu kembali menghantui pendengarannya. Entah itu memang suara yang ditangkap indra pendengarannya atau daya imajinasi berkat rasa bersalah yang kian membuncah.

"Aku... nggak bermaksud..." lirihnya sambil menenggelamkan wajahnya ke dalam lekukan kakinya.

Dug...

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara. Ia langsung mengangkat kepalanya sambil mengedarkan pandangannya. Tak ada apapun. Tapi ia merasa seperti diawasi. Ia segera bangkit dari duduknya.

"SIAPA DI SANA?!" serunya dengan posisi waspada. Tiba-tiba saja ia merasa pandangannya menggelap.

...

"Sudah semuanya?" tanya seorang gadis yang terdengar lembut.

"Sudah, nona," sahut seorang laki-laki.

Vani mengernyitkan dahinya ketika ia merasa kepalanya pening. Dengan perlahan ia membuka kelopak matanya kemudian mengangkat kepalanya. Matanya menyipit, masih menyesuaikan cahaya yang ada.

"Oh? Udah sadar?" tanya gadis yang tadi. Mata Vani terbelalak ketika melihat pelaku yang menyekapnya.

"Mmmmphh!" seru seorang gadis. Vani segera menoleh ke sumber suara. Matanya kembali terbelalak ketika melihat seluruh anggota pembullyan Alya diikat menjadi satu. Sedangkan ia sendiri didudukkan di atas kursi, sendiri.

"Kenapa? Kaget ya?" tanya gadis tadi dengan lembut membuat Vani mengalihkan pandangannya. Ia menatap benci ke arah gadis itu.

"Kok gak jawab?" tanya gadis itu lagi.

"Mmmmphh!" seru Vani tidak jelas karena mulutnya ditempeli lakban. Gadis itu menepuk dahinya, seakan dirinya baru mengingat sesuatu.

"Oiya kan mulutmu ditempelin ya?" ucap gadis itu kemudian menarik lakban itu dengan satu hentakan, memberikan efek yang dahsyat bagi mulut Vani. Vani meringis menahan perih yang ia rasakan.

"Mau lo apa hah?!" tanya Vani sengit. Gadis tadi memutar bola matanya kemudian menarik sebuah kursi dan duduk di hadapan Vani.

"Harusnya gue yang nanya itu ke elo. Dari awal gue pacaran sama kakak lo. Lo kayaknya emang gak pernah suka sama gue ya?" ucap gadis itu, Kak Alin to the point.

"YA! Gue emang gak suka lo pacaran sama Kak Vano!" seru Vani. Kak Alin mengepalkan tangan kanannya yang ia sembunyikan di belakang punggungnya.

"Kenapa?" tanya Kak Alin berusaha terdengar lembut.

"Bukan urusan lo," ucap Vani pelan sambil menunduk. Kak Alin mendengus malas kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke gerombolan cewek yang diikat jadi satu.

"Kalo bukan urusan gue, berarti mereka urusan siapa ya? Urusan lo?" tanya Kak Alin kepada Vani yang duduknya membelakangi posisi Kak Alin saat ini.

"M-mana gue tau. Emang mereka siapa?" ujar Vani menyembunyikan kegugupannya. Kak Alin tersenyum miring kemudian mendekati salah satu dari mereka dan membuka lakban di mulutnya dengan kasar.

Kutukan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang