Tiga Puluh Satu

372 38 1
                                    

Di antara riuhnya kerumunan orang yang memenuhi tempat itu, Alya seakan merasa sendiri. Ia berlari ke sembarang arah. Entah ia lari ke mana, ia sendiri juga tidak tahu. Sesekali ia mengusap air mata yang menetesi pipinya.

Entah sudah kali keberapa ia menabrak orang-orang tidak bedosa dan pergi tanpa meninggalkan kata "maaf" sedikitpun. Tanpa ia sadari, ia telah keluar dari tempat itu. Kini pendengarannya tak lagi menangkap suara-suara kebahagiaan di taman bermain. Yang ada hanyalah suara mesin dari kendaraan yang berlalu lalang.

"Aku pulang saja," gumam Alya. Tanpa berpikir panjang, ia melangkahkan kakinya ke jalan raya, hendak menyebrang, tanpa melihat-lihat terlebih dahulu.

TIIINNN.... TIIINNN...

Hingga suara klakson mobil menyadarkannya. Ia mulai merasa bahwa dirinya lebih bodoh dari orang-orang di sinetron, yang bukannya lari lebih cepat ke seberang, malah berteriak sambil menutup telinga. Ia bahkan hanya menatap mobil itu menuju ke arahnya, seakan pasrah dirinya meregang nyawa saat itu juga.

Kelopak matanya melebar ketika mobil itu sudah di depan matanya. Kemudian ia menutup matanya rapat-rapat, tak ingin tahu apapun yang terjadi terhadap dirinya beberapa detik ke depan.

Alya tersenyum, berpikir bahwa dirinya sudah mati, yang seharusnya ia lakukan dua bulan yang lalu.

Tapi tunggu, inikah rasanya ditabrak? Rasanya nyaman. Seperti di dalam pelukan seseorang. Dan... seperti melayang? Entahlah.

Alya perlahan membuka kelopak matanya, memberanikan diri untuk melihat apa yang sudah terjadi. Seketika kelopak matanya melebar. Ketika mengetahui bahwa Lio memeluknya. Kini pandangan Alya berusaha untuk melihat ke bawah.

"Jangan lihat ke bawah. Kita turun sekarang," ucap Lio, seakan mengetahui isi pikiran Alya. Tak lama kemudian, Alya bisa merasakan kakinya menyentuh tanah lagi, Lio pun melepaskan pelukannya. Seketika, tubuh Alya merosot dan kini ia terduduk di atas tanah.

Alya memandang kosong ke depan, matanya mulai tergenang air. Ia merasa kesal, yang pertama karena Dirga dan Naura. Yang kedua, karena ia gagal untuk mati.

Lio ikut terduduk di hadapan Alya, menatap Alya dengan intens, tapi Alya tidak peduli. Air matanya kini mulai membasahi pipinya, lagi. Tangan Lio bergerak untuk menghapus jejak air mata Alya.

"Tolong," ucap Lio. Alya mengernyitkan dahinya, kemudian menatap heran ke arah Lio, tidak mengerti dengan apa maksud dari ucapan Lio barusan. "Tolong jangan begini."

Alya menepis tangan Lio. "Maksud?" tanya Alya.

"Kamu jangan bunuh diri hanya karena cintamu bertepuk sebelah tangan," ucap Lio dengan tatapan sendu. Alya berdecih.

"Apa pedulinya lo sama gue? Kenapa lo ngatur-ngatur hidup gue? Lo itu bukan siapa-siapa gue!" seru Alya dengan tatapan yang menajam.

"Aku temenmu, Al!" balas Lio ikut-ikutan menaikkan nadanya.

"Temen? Temen macam apa yang ikut campur sama hidup matinya! Lo bikin rencana gue kacau Yo! Kenapa lo bikin gue gagal mati lagi hah?!"

"Aku gak suka ngelihat orang menyia-nyiakan hidup kayak kamu, Al! Kamu kira hidup itu tidak berharga?!"

"Gue tau hidup itu memang berharga Yo! Tapi gue gak sanggup nanggung kutukan ini!"

"Jangan cuma gara-gara cinta bertepuk sebelah tangan aja lo bunuh diri Al!"

"Gue tahu kenapa dengan entengnya lo bisa ngomong kayak gitu, Yo! Karena lo gak akan ngerti rasanya jatuh cinta bertepuk sebelah tangan!"

Lio mendadak diam menatap Alya. Alya juga ikut terdiam menatap Lio sambil terengah, lelah berteriak kepada Lio.

Kutukan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang