Dua Puluh Empat

3.1K 200 3
                                    

"Pak Leo..." panggil Berlian dengan sangat pelan.

Panggilan itu membuatnya tersadar dari lamunan panjangnya.

"Ah.. Berlian kamu sudah sadar ,nak?"

Ian mengangguk pelan. Dengan badannya yang lemah, gadis itu berusaha bangun dan mengangkat tubuhnya.

"Pelan-pelan nak tubuh kamu masih lemah."

"Aku sudah tak apa-apa pak."

Berlian menatap kesekitarnya,tapi dimana kah dia sekarang? Ruangan ini mirip dengan kamarnya hanya saja lebih luas dan lebih bagus.

"Saya dimana pak?"

"Kamu dirumah nak."

"Rumah?"

Pak Leo mengangguk. Sejujurnya Berlian masih bingung apa yang dimaksud pak Leo dengan rumah. Jelas-jelas ini bukan rumahnya.

"Kamu lapar? Papa ambil kan makan ya. Kamu mau apa?"

"Maaf saya tak lapar, tunggu.. Anda tadi bilang apa? Papa?"

Pak Leo pun diam bingung harus menjawab apa. Yang jelas sekarang bukan lah waktu yang tepat untuk menceritakan semua rahasianya pada anak gadis nya ini.

Bisa saja beliau menceritakannya,tapi reaksi Berlian marah dan kabur dari rumah nya itu sudah pasti. Dan beliau tidak menginginkannya.

Berdua dan menatap anak gadis yang sudah lama tak dia temui adalah impian terbesarnya. Dan dia tak ingin melepas kesempatan itu. Setelah menunggu belasan tahun ini sungguh kesempatan yang sangat langkah baginya.

Tapi apakah mempertahankan egonya dengan tak menceritakan semuanya itu hal yang benar?

Disaat pak Leo sudah putus asa dan bimbang, tiba-tiba pintu kamar pun terbuka.

Muncul lah Olden membawa nampan berserta makanan dan minuman diatasnya.

"Kamu sudah bangun?"

"Kau"  Berlian kaget spontan menunjuk Olden dengan jarinya.

Tak..

Satu sentilan mendarat di kening Berlian.

"Aww.. Kau mau dihajar hah?" Berlian memperlihatkan wajah kesalnya. Seenaknya saja cowok itu tiba-tiba masuk dan menyentilnya. Tunggu tapi kenapa semua orang yang baru-baru ini dia kenal ada disini. Ini bukan sebuah kebetulan. Ini aneh.

"Golden jaga sikap kamu. Kasian kan adik kamu dia masih sakit!"

"Adik? Yang benar saja. Dia itu preman. Gak bakal bisa sakit."

Oke.. Berlian bingung sekarang. Sebenarnya ini mimpi atau apa sih. Kenapa dia bisa ada di tengah-tengah mereka sekarang. Dan dia sama sekali tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

"Permisi... Ada yang bisa jelaskan. Dimana saya sekarang? Dan apa yang sebenarnya saya lewatkan?"

Berlian terlihat seperti orang bodoh sekarang.

"Kamu makan dulu ya keburu dingin. Papa keluar sebentar." Pak Leo pun keluar dari kamar tersebut dengan nafas lega.

Biarlah dia menahan semua kisah-kisahnya dulu. Cepat atau lambat dia akan memberitahukannya. Ini hanya masalah waktu.

"Lo ya memang ngerepotin aja bisanya." Olden berjalan ke arah sofa dan menyalakan televisi.

Berlian menurunkan kakinya dan berjalan menyusul ke tempat Olden.

"Lo sebenarnya siapa sih?!" Berlian tak kuat lagi menahan rasa penasarannya. Hari ini dan saat ini juga dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa dia ada di tengah-tengah mereka.

"Santai aja napa. Duduk dulu. Ngopi-ngopi cantik. Lo itu jadi orang terlalu grusak-grusuk. Gak bisa sabar."

"Gimana mau sabar,gue gak tau ada dimana dan ditinggal berdua sama alien kayak lo lagi."

"Gue? Alien?" Olden menunjuk dirinya dengan jarinya.

Berlian mengangguk sambil tersenyum mengejek.

"Kalau gue alien lo alien juga lah bego!"

"Heh.. Enak aja. Gue itu manusia. Gue gak mau disama-samain kayak lo."

Olden berjalan dan menarik bahu Berlian pelan ke arah kaca.

"Lo sadar gak. Kalau wajah kita hampir mirip?"

Berlian menatap pantulan wajahnya dan wajah Olden pada cermin itu.

"Warna rambut kita sama, mata kita sama hidung kita sama.. Yang beda hanya bibir dan jenis kelamin kita."

Berlian menggelengkan kepalanya. Gak , ini gak mungkin. Gak mungkin kan apa yang dikatakan Alva tadi benar. Ini pasti mimpi. Ini semua pasti bohong.

Berlian mengejap-ngejapkan matanya tapi pantulan Olden tetap ada disampingnya.

Olden mencubit kedua pipi Berlian.

"Aww... Sakit tau!"

"Lo sadar kan kalau ini bukan mimpi. Udahlah terima aja kenyataan kalau lo sedarah sama gue. Dan kita ini kembar. Lo adalah separuh gue. Dan gue separuhnya lo" Olden menepuk bahu Berlian dua kali lalu pergi keluar dari kamar meninggalkan Berlian yang sedang kebingungan.

-----

"Pa, apa sebaiknya kita katakan sekarang aja, ini sudah cukup lama pa, dan dia juga berhak mengetahui rahasia tentang ibunya." Alva menatap serius papanya yang sedang duduk diruang keluarga.

"Tak bisa Va, dia masih sakit. Papa takut dia semakin syok dan sakitnya lebih parah." sebenarnya itu hanya lah alasan karena Leo. Belum siap Berlian membencinya dan hilang dari pandangannya lagi seperti dulu. Dan dia tak ingin mimpi buruk itu terulang lagi.

"Pa , Alva tahu, papa ingin bersamanya, tapi ini gak bakal adil buat dia pa. Kalau Alva diposisinya sekarang pasti Alva akan... "

"Akan apa va? Kamu ingin meninggalkan papa setelah mengetahui semuanya ,iya?"

Alva bingung harus berkata apa lagi dengan papanya. Dia sudah berpuluh-puluh kali membujuk lelaki itu jujur. Karena kejujuran adalah kunci dari segala kebahagiaan. Menyimpan sesuatu hanya bisa menyiksa diri sendiri. Lebih baik kita mengatakan kebenarannya meskipun menyakitkan, tapi itu lebih baik dari pada terus-terusan menyembunyikan semuanya.

"Pa, apa salahnya kita coba pa. Siapa tahu hasilnya tak seperti yang kita bayangkan selama ini. Kita harus berpositif thinking pa."

"Tapi apa Berlian akan memaafkan papa kalau papa lah yang membuat ibunya sakit?"

Belum sempat Alva menjawab , suara pecahan guci mengalihkan pandangan mereka.

Terlihatlah Berlian yang menatap mereka dengan wajah syok nya.

" Anda penyebab sakitnya ibuku?"

Tbc

My Idiot MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang