14.

2 1 0
                                    

Saat itu Yuke dan Seno berumur 15 tahun. Satu hari sebelum mereka masuk ke SMA. Mereka membeli peralatan sekolah terlebih dahulu ke toko buku dengan sepedah mereka. Setelah itu, mereka bersepedah mengelilingi kompleks. Saat merasa lelah mereka beristirahat di taman kompleks sambil menikmati es krim.

"Besok aku boleh bawa sepedah ke sekolah." Ujar Yuke sambil mengayunkan kedua kakinya. "Besok kita berangkat bareng, yah." Pintanya disertai senyum manja.

"Aku juga boleh bawa sepedah." Jawab Seno antusias, lalu perlahan dia tersenyum.. "Iya. Besok aku ke rumah kamu dulu."

Yuke pun mengajak Seno untuk pulang ke rumah karena cuaca yang mulai mendung dan waktu yang semakin sore.

Seno terlihat sedih mendengar ajakan Yuke. "Aku gak mau pulang."

"Kenapa?" tanya Yuke dengan nada yang ikut merasa sedih.

Seno terdiam beberapa detik. "Aku boleh 'kan ke rumah kamu dulu?" pintanya antusias. Akhirnya mereka pergi ke rumah Yuke dan bermain di belakang rumah hingga langit gelap.

Yuke duduk di meja kursi depan rumah. Menungu seseorang untuk berangkat sekolah bersama-sama menggunakan sepedah. Namun hingga pukul 06.30 orang yang dia tunggu belum datang. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi lebih dulu. Mungkin dia gak diizinin naik sepedah. Dia berangakat dengan sepedah berwarna pinknya.

Dia masuk ke dalam kelas yang sudah ditentukan. Dia duduk sendiri. Saat ada orang yang mengajaknya sebangku, dia selalu menjawab. "Aku udah sebangku sama temen aku. Tapi dia belum datang." Dan kalimat itu selalu diakhiri senyum kecewa.

Hingga bel berbunyi. Orang yang dia sediakan tempat duduknya pun tidak datang. Dia mempertanyakan keberadaan Seno. Untung saja hari ini awal masuk sekolah, sehingga pulang lebih awal. Dia memutuskan untuk ke rumah Seno terlebih dahulu.

Dia berjalan sambil mendorong sepedah. Sepanjang jalan wajahnya sedih. Dipikirannya dibuat bingung dengan kemananya Seno. Akhirnya dia sampai di depan rumah Seno. "Seno! Seno! Seno!" dia tak hentinya berteriak. Hingga tenggorokannya terasa sakit.

Dengan hasil nol. Dia tidak menemukan Seno hari itu pun. Setelah berdiri di depan rumahnya, dia membantingkan sepedah dan berlari ke kamar. Dia menangis. Di benaknya hanya bertanya-tanya dimana keberadaan Seno.

Semenjak itu. Dia tak pernah pergi ke rumah Seno yang dulu. Rasanya pahit setipa melihat hal yang berhubungan dengan laki-laki yang dia harapkan itu. Untuk mencari pun dia tidak pernah. Hatinya cukup sakit menerima pengkhianatan itu. Namun untuk kursi yang sudah siapkan untuk Seno, dia tak pernah memberikannya pada siapa pun. Dia merasakan sosok Seno masih berada di sisinya, walaupun kenyataannya tidak.

Saat Seno hendak akan pergi sekolah. Pak Eki melarang dia untuk pergi sekolah. Menyuruh dia untuk segera membereskan barang-barang. Seno melawan. Namun nol besar, dia tetap kalah sehingga harus mengikut kemauan Ayah.

Dia menaiki mobil. Lalu dengan cepat melepaskan kertas dari bukunya. Menulis kejadian sebenarnya. Dia pun meminta Ayah untuk berhenti di depan rumah Yuke.

"Kita udah ketinggalan pesawat." Ayahnya semakin melaju dengan kecepatan tinggi.

Seno hanya menatap rumah Yuke dengan tatapan dingin. Begitu sulit baginya untuk mengedipkan mata. Ke, aku pergi.

e

TERIMA KASIH HUJANWhere stories live. Discover now