5.

3 1 0
                                    

Yulita membuka pintu. Dia terdiam saat melihat orang yang datang ke rumah. "Lo ngapain ke sini?" tanyanya cuek. Namun tiba-tiba matanya tertuju pada perban dan luka di wajah Seno.

Seno menggantung kunci motor KLX milik Yulita yang dia pinjam beberapa waktu lalu. Yulita mengambil kunci secara kasar, lalu dia cepat-cepat menutup pintu. Namun Seno kuat menahan pintu. Tiba-tiba Yulita melepaskan pintu yang membuat Seno hampir jatuh. "Ada apa lagi lo ke sini?" nadanya agak tinggi.

"Galak banget, sih." Seno berjalan ke ruang tamu dengan santai. "Emang lo gak kangen sama gue? Dari tadi pagi 'kan kita belum ketemu."

"Bodoamat!" seru Yulita tepat di telinga kiri Seno.

Seno mengusap telinga kirinya. "Biasanya lo ngasih gue makanan atau tawarin gue minuman." Dia menghampiri Yulita yang berjalan ke dapur. "By the way, nasi goreng lo enak."

"Gue nyesel udah baik sama lo. Karena lo malah kegeeran."

Seno menatap Yulita begitu dalam, hingga Yulita merasa malu.

"Gue gak akan bikin lo nyesel kalau lo tetep sama gue."

Yulita tertawa kecut. "Gue gak percaya sama cowok karena,"

"Gak semua cowok gitu." Potong Seno. "Apalagi orang secantik lo, gak mungkin gue sakitin."

"Gimana gue bakal percaya kalau orang itu adalah orang yang sama,"

"Udah deh cantik!" potong Seno sambil mengusap dagu Yulita. Untuk merayu perempuan di depannya agar tidak marah.

Yulita menjulurkan lidah. Dia pura-pura muntah. "Semua cewek aja lo gituin." Dia berjalan ke dapur.

Seno yang melihat kelakuannya hanya tersenyum sendiri. Lalu dia berjalan ke belakang rumah. Dia duduk di kamar kaca yang berhadapan dengan kolam renang. Tak lama, Yulita menghampiri Seno dengan 2 piring nasi goreng dan 2 gelas kopi. Mereka pun menyantap makan malam berdua dengan suasana malam yang terasa dingin.

"Gue denger lo di skor." Yulita memulai pembicaraan.

"Masa lo gak denger tentang gue. Fosil bilang lo nanyain gue. Makanya gue ke sini." Seno memasang wajah so ganteng.

Yulita mengangkat kedua halisnya. "Mereka bilang gitu?" ada nada kurang percaya. "Terus lo bakal percaya gitu aja sama mereka? Bukannya mereka gak suka sama lo."

"Lo bakal percaya sama 6 orang yang ngomong apa 1 orang yang ngomong?" bantah Seno.

Yulita hanya memasang mata sinis. "Teh nya gak ada, jadi gue bikin kopi. Gue jarang belanja jadi,"

"Gue ke sini sebenernya cuman mau bilang," potong Seno.

Tiba-tiba jantung Yulita berdebar. Dia melihat Seno dengan wajah gugup. Apalagi wajah Seno begitu serius, seakan-akan dia ingin mengatakan hal penting. "Awas aja kalau dia mau macem-macem lagi sama gue."

"Gue, gue," Seno terlihat gugup. "Besok gue anter lo sekolah, sekalian gue jemput lo pulangnya." Dia pun tiba-tiba tertawa. "Muka lo jangan tegang gitu kalau lagi sama gue. Lagian lo kegeeran." Tawanya semakin keras.

Yulita merasa kesal karena telah dipermainkan. Dia memasang wajah garangnya. "Gak butuh! Gue gak butuh lo!" dia meninggalkan Seno dengan penuh kekesalan. Dia berjalan ke lantai atas. "Cepet lo pulang! Gue gak butuh lo!"

Setelah minum obat, Yulita tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya setelah seharian penuh beraktivitas di luar. Namun karena pengaruh obat, tubuhnya berkeringat dan hal tersebut membuatnya tidak nyaman tidur. Dia pun terbangun dan memutuskan untuk tidur di kamar kaca yang berudara adem. Dia terkejut saat melihat Seno tidur di sofa ruang tamu. Hendak dia akan memukul laki-laki brengsek itu dengan bantal, dia merasa tak tega karena tidurnya yang begitu lelap. Akhirnya dia membawa selimut untuk menyelimuti tubuhnya yang terlihat kedinginan. Hendak dia akan pergi, matanya melihat bunga palsu yang dia dapatkan dari Seno. "Pasti dia yang bawa." Dia melihat Seno yang masih dengan posisi tidur nyenyak. "Gue gak bisa nebak lo." Dia membawa bunga tersebut ke kamar kacanya. 

TERIMA KASIH HUJANWhere stories live. Discover now