28.

2 1 0
                                    

"Ngapain lo ke sini?!" tanya Yulita dengan wajah yang sudah kesal.

"Lo harus ikut gue." Jawab Ega santai. Kakak laki-lakinya.

Yulita tertawa kecut. "Terus lo ada hak untuk ngatur hidup gue setelah lo ninggalin gue hanya dengan uang?" dia semakin berani. "Lo pilih aja istri paling berharga lo itu!" ketusnya tepat di depan wajah Ega. Dia melewati istri Ega bernama Caroline dengan tatapan tajam. "Ngapain lo balik ke sini?"

Hendak Yulita akan pergi, lengan kanannya ditarik Ega. "Yuy gue bakal ngurus lo dan lo harus ikut gue! Gue yang bakal bayar kuliah lo. Gue yang bakal ada di samping lo sekarang. Karena gue tahu gue salah!"

Air mata Yulita mengalir. "Lo kemana sih, selama ini? Lo gak perduli sama gue 'kan selama ini? Dan sekarang lo dateng, dengan nyuruh gue pergi." Dia tertawa kecut. "Lo kemana selama ini? Gue sakit! Lo aja gak tahu! Gue diculik lo aja gak peduli! Dimana sih, tanggung jawab lo sebagai kakak?!" amarahnya kembali muncul.

Dia lebih mendekat pada Ega. "Jangan lo pikir, gue hidup di sini tanpa lo gak bahagia? Gue bahagia!" kalimat itu tepat keluar beberapa cm dari hidung Ega.

"Apa salah gue kalau gue cuman pengen perbaiki semuanya?" Ega memasang wajah bersalah. "Ayolah! Kita bisa perbaiki semuanya."

Tanpa berkata-kata. Yulita pergi meninggalkan rumah.

Sudah 1 jama Yulita dan Seno hanya terdiam saat kumpulan bersama RS. Tak seperti biasanya. Sejak tadi mereka hanya menunduk dengan pikiran mereka masing-masing. Harus memilih pilihan yang pasti.

Yulita memikirkan ajakan Ega untuk pindah ke Amsterdam, Belanda. Sebenarnya hal itu tidak lebih tertarik, namun dia harus kembali memikirkan siapa yang selanjutnya akan mengurus dirinya jika dia dan Ega terus bermusuhan dan terus menyimpan dendam karena kurang pertanggung jawaban. Masalah Seno, mungkin akan sama halnya jika dia tetap di Indonesia. Hanya akan bertemu beberapa bulan sekali dengan Seno. Jika di Indonesia dengan siapa dia akan tinggal, Fosil pun akan sibuk dengan kuliah masing-masing.

Seno dilema. Antara besok dia harus ikut test selanjutnya atau tetap tidur di kamar dengan harapan yang dia inginkan. Mungkin dia tak seharusnya memikirkan semua ini. Pasalnya pilihan selalu ada di tangan orang yang mengatur hidupnya selama ini.

"Pulang, yuk?" ajak Seno yang sudah tak sabar menunggu keputusan Pak Eki. Akhirnya dia mengantarkan Yulita ke rumah. Dia kebingungan saat ada mobil yang dia tahu bukan milik Yulita terparkir di depan rumahnya. "Ada siapa?"

"Ada Ega." Jawab Yulita dengan nada malas.

"Kamu tidur nyenyak ya, sayang." Seno mencium kening Yulita.

Yulita hanya senyum terpaksa.

Seno masuk ke dalam rumah yang sudah disambut oleh Pak Eki dan Ibu Marin. Dia berdiri di depan mereka berdua. Menunggu sebuah kalimat keluar dari mulut antara mereka berdua.

"Besok kamu harus tetep ikut test selanjutnya." Akhirnya Pak Eki membuka mulut dengan menahan amarah.

Harapan Seno hilang sudah. Amarahnya naik. "Aku gak bisa!" tegasnya. "Kalau gitu aku yang ngalah. Aku yang akan pergi dari rumah dan cari jati diri aku sebenarnya."

Ibu Maarin menahan Seno saat dia hendak akan pergi ke kamar. "Jangan pernah pergi lagi," pintanya dengan wajah yang begitu iba. Air matanya pun berkaca-kaca.

"Terus kamu mau jadi apa?!" Pak Eki mendekat pada Seno.

Seno hanya terdiam dan melihat Pak Eki dengan tajam. "Banyak yang bisa aku lakuin selain aku bohong sama diri sendiri!"

Pak Eki terdiam. Dia memikirkan keputusan selanjutnya. "Oke kamu gak usah jadi tentara." Jawabnya tenang, tanpa ada nada emosi.

"Makasih, Yah!" dia pergi ke kamar. Betapa bahagianya dia. Serasa keluar dari penjara. Tak sabar dia ingin memberitahu Yulita, namun tiba-tiba terpikir di benaknya bagaimana dia menyampaikan kabar gembira ini.

TERIMA KASIH HUJANWhere stories live. Discover now