23.

3 1 0
                                    

Hari ini hari Sabtu, sekolah libur. Yulita terbangun karena mendengar suara seseorang sedang berenang. Ternyata Hana sedang berenang. Dia pun ikut berenang. Menikmati udara yang mulai panas dengan matahari mulai menaik. Setelah 30 menit berenang, mereka menikmat nasi goreng dan jus jambu yang sudah Yulita buatkan.

"Kakak lo gak ada kabar?" tanya Hana sambil mengunyah nasi goreng.

Yulita menyimpan kembali sendok yang hendak akan dia suap pada mulutnya. Seketika dia malas untuk melanjutkan makan. Dia menyimpan piring di meja, meminum jus jambu dan berlari ke lantai atas.

Hana hanya terdiam melihat Yulita. Dia sadar. Dia mengucapkan kalimat yang salah.

Waktu menunjukan pukul 09.00. Dia menghubungi Seno, namun sudah berpuluh-puluh kali menelepon, tak ada jawaban sama sekali. Mungkin dia masih tidur, pikirnya. Dia membaringkan tubuh di atas sofa sambil melihat pemandangan rumah belakang. Tiba-tiba dia terpikir dengan kalimat Hana. Bagaimana dengan kakaknya.

"Belum tentu dia mikirin gue." Dia menutup wajahnya dengan bantal.

Tiba-tiba ada seseorang berteriak memanggil namanya. "Yuy!" pekik suara itu semakin mendekat ke kamar.

Yulita mendengar suara itu dan dia mengenal suaranya. "Seno!" dia dengan cepat berdiri untuk menghampiri Seno di pintu kamar. Namun lebih dulu Seno membuka kamarnya. Dia membawa serangkai bunga dan boneka.

Yulita hanya tersenyum menyambut kedatangan Seno. "Udah ditelepon berkali-kali malah gak diangkat!" dia berjalan mendekati Seno. Tiba-tiba dia berhenti, lalu berjalan kembali sambil mengerutkan kening. "Kenapa lo botak?" tanyanya sambil mengambil bunga dan boneka dari tangan Seno.

Seno mengusap kepala. Dia tersenyum malu. "Besok gue ada pendaftaran militer."

Yulita memeluk boneka. Namun dengan wajah kecewa. "Lo bakal ninggalin gue dong!" lalu dia menyimpan bunga dan boneka di atas meja dengan tatanan yang rapih.

"Sebenernya gue gak mau jadi militer. Gue gak pernah punya cita-cita buat jadi militer. Gue bahkan gak suka. Gue gak suka kalau gue udah rumah tangga, gue jadi sering ninggalin orang-orang yang gue sayang." Seno berjalan untuk duduk di sofa dengan wajah yang sedih.

Yulita pun ikut sedih dengan ungkapan hati Seno. Dia tahu. Dia mengerti. Karena selama ini dia merasakan kurang kasih sayang dari ayahnya sebagai militer.

"Tapi bokap tetep maksa. Jadi gue gak bisa berbuat apa-apa."

Yulita menghampiri Seno, mengusap bahunya. "Semoga lo jadi pasukan yang baik." Dia berusaha menyemangati.

"Terus lo mau daftar kemana?" tanya Seno sambil menoleh pada Yulita.

Yulita terdiam beberapa detik. Dia merasa bingung. "Sekolah gue gak tahu dilanjut, gak tahu gak. Ya lo tahu 'kan. Gue udah gak punya siapa-siapa lagi. Uang gak ada. Gue udah gak kontakan lagi sama kakak gue, ya jadi gue gak dapet kiriman. Ini pun sekarang gue bertahan karena masih punya uang beberapa bulan lalu, setelah itu mungkin gue bakal jual nih rumah buat kehidupan gue." Matanya berputar melihat isi kamar kesayangannya. "Ya. Gue pikir gue bisa cari kerja kecil-kecilan supaya gue bisa bertahan hidup."

"Yuy," Seno memegang kedua tangan Yulita. "Gue bakal selalu ada buat lo." Ujarnya begitu dalam. "Gue bisa bilang ke bokap buat kuliahin lo."

Yulita menyunggingkan senyum. "Gak usah. Gue gak apa-apa. Gue nyaman kok kayak gini." Senyumnya semakin lebar. "Yang terpenting buat gue, gue butuh lo buat suport gue."

Seno hanya tersenyum dengan rasa kecewa dalam hatinya. Lalu perlahan dia membujuk Yulita untuk memperbaiki hubungan dengan kakaknya agar dia bisa melanjutkan masa depannya yang lebih baik.

TERIMA KASIH HUJANWhere stories live. Discover now