31.

3 1 0
                                    

*Lima tahun kemudian

Sudah 5 tahun Yulita tinggal di Amsterdam. Melanjutkan pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya. Selama 5 tahun hidupnya terasa sepi setelah memutuskan pergi. Betapa dia sedih saat Seno mengkhianatinya dengan tak pernah membalas pesan melalui media sosial apapun, termasuk tak mengangkat teleponnya. Walau tanpa henti setiap minggu terakhir dia selalu menghubungi Seno, waktu dimana laki-laki itu bilang untuk segera menghubungi.

Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Seno hingga laki-laki yang selalu membuat bahagia itu tidak menghiraukannya. Namun dia selalu berpikir postif. Laki-laki itu sedang bekerja keras untuk masa depan yang lebih baik.

Selama 5 tahun ini dia jauh dengan Seno, dia tak pernah mengkhianati Seno ataupun ada niat menggantikan sosok Seno walau ada yang lebih baik. Baginya, hatinya hanya untuk Seno. Tak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu pulang ke kampung halaman. Dan hari ini adalah hari dia mengakhiri kuliah S1 sehingga dia bisa pulang. Dengan harapan pulang ini, dia bisa bertemu Seno.

Yulita berkeliling kota Bandung terlebih dahulu dengan taxi. Dia begitu menikmati kota yang dia rindukan selama ini. Kota yang mempersatukan cintanya dengan Seno. Kota ini sudah mulai bersih dan rapih. Penjual kaki lima sudah mempunyai lapak masing-masing sehingga tepi jalan menjadi rapih. Matanya tak sengaja melihat anggota RS sedang duduk dengan kursi kecil. Dia meminta supir untuk menepi.

Dia turun dari taxi. Dia mengerutkan kening. Dia kenal laki-laki itu lebih dari siapa pun. Betapa hancur hatinya saat melihat dia sedang duduk di tepi jalan yang bukan tempat seharusnya. Air matanya tak tertahan lagi.

Seorang anak kecil berumur 4 tahun berlari menghampiri laki-laki itu dan berteriak. "Papah!"

Rasa sakit hati Yulita berlipat-lipat. Entah apa yang harus dia lakukan. Tapi yang jelas, dia harus menemui laki-laki itu untuk menjelaskan semua pertanyaan yang melayang di pikirannya saat ini ataupun selama 5 tahun ke belakang.

Dia menghapus air mata. Berjalan perlahan dengan tubuh yang lemas. Kini dia berdiri lebih dekat dengan laki-laki itu, hanya berjarak 5 meter.

Laki-laki itu melihat Yulita dengan tubuh yang kaku dengan mata yang menahan airnya agar tidak membanjiri pipi. Betapa dia ingin memeluk Yulita seerat-eratnya. Betapa dia ingin menjelaskan seribu tanda tanya di benak Yulita. Namun mulutnya begitu sulit untuk berkata apapun. Apalagi berkata dengan apa yang sudah terjadi, begitu sakit saat dia harus mengingat itu semua.

"Seno," lirih Yulita pada akhirnya. "Kenapa kamu ada di sini?"

Plak! Plak! Plak! Plak! Empat tamparan melayang di kedua pipi Seno secara bergantian. Lalu beberapa pukulan melayang di tubuhnya, hingga dia tak bisa melawan, bahkan untuk berkata dengan sebuah penjelasan.

"Ayah juga bilang apa?! Ayah nyuruh kamu jadi tentara supaya kamu jadi orang yang bener! Bukan jadi berandal yang hamilin anak orang!" lagi-lagi tamparan melayang di pipi Seno.

"Kalau jadinya gini?! Siapa yang mau tanggung jawab selain diri kamu sendiri!" Ayah menendang Seno hingga terjatuh.

Ibu Marin menghampiri Seno yang sudah tidak berdaya. Air matanya menetes begitu deras melihat kesakitan yang dirasakan anaknya. Dia memeluk tubuh Seno yang lemas. "Kamu pasti bisa, sayang. Kamu pasti bisa!" dia meyakinkan anak tunggalnya itu.

"Kamu pergi dari sini, anak yang gak mau diatur!"

Seno berdiri dan merapihkan beberapa barang. Dia pergi dari rumah. Betapa berat dia harus meningglkan perempuan yang paling dia sayang di dunia ini untuk kedua kalinya. Namun dia akui ini kesalahannya dan harus mempertanggung jawabkan.

Dia datang ke rumah Juwita. Perlakuan yang sama dia dapatkan dari Pak Yaya, ayah Juwita. Memaki, menampar, memukul dan menendang, semua itu diterima tubuh Seno yang sudah tak berdaya. Juwita pun diusir dari rumah.

Akhirnya mereka berdua pergi. Dengan keadaan Juwita yang sedang hamil muda. Mereka mencari tempat tinggal dengan uang seadanya. Perlahan Seno membuka usaha dengan menjual lukisan-lukisan yang selama ini dia simpan. Dan setelah uang terkumpul, mereka menikah seadanya. Juwita terus mendukung usaha Seno hingga akhirnya mereka mempunyai rumah cukup besar dan bisa membiayai anak pertama mereka.

Seorang perempuan yang Yulita kenal berjalan menghampiri posisi berdirinya yang berhadapan dengan Seno. Anak kecil yang berdiri di samping Seno, memanggilnya dengan, "Mamah!" sambil dia melambaikan tangan kanannya dan tersenyum.

Rasa sakit hati Yulita 1000x lebih sakit. Dia hampir terjatuh. Untung saja di sampingnya ada pohon kecil yang bisa membuatnya menahan. Betapa dia ingin berlari dari pandangan saat ini. Dia ingin berlari di bawah langit yang menurunkan hujan. Karena dia percaya, hujan selalu membuatnya bahagia.

"Dia istri aku." Seno memperkenalkan Juwita pada Yulita.

Yulita tersadar dari lamunannya. "Hei," lirihnya.

Juwita menjulurkan tangan kanan. Dia memberi senyum pada Yulita."Apa kabar?"

Yulita terdiam beberapa detik. Dia menerima uluran tangan Juwita dan membalas senyumnya. "Baik."

"Ini anak aku," Seno mengangkat tubuh mungil anak kecil itu. Dia terdiam beberapa detik, seakan-akan sedang mengumpulkan nyawa. "Namanya Yuke."

Yulita terkejut nama itu disebut dari mulut Seno. Nama aslinya dulu. Apa dia sengaja menyangkutkan namanya untuk anak pertama itu? Dia menyunggingkan senyum pada Yuke. "Hallo, kamu cantik sekali!" Sanjungnya dari jarak jauh. Dia tak berani mendekat. Entah mengapa. Kakinya begitu sulit.

TERIMA KASIH HUJANWhere stories live. Discover now