21.

2 1 0
                                    

Hari ini Yulita bangun pukul 12.00. Tak ada yang membangunkannya. Tubuhnya sudah membaik. Dia terkejut saat menyadari dia tidur di kamar Seno. Dia mencari Seno. Namun dia teringat hari ini hari Kamis, jadwal sekolah. Dia minum segelas air bening yang sudah tersedia di atas meja.

Dia keluar kamar. Mencari seseorang. Namun telinganya mendengar sesuatu di depan rumah. Dia segera menghampiri sumber suara dengan hati-hati. Dia tak berani membuka pintu, akhirnya dia membuka tirai terlebih dahulu. Ternyata Seno.

Dia membuka pintu. "Seno!" tegurnya.

Seno menoleh ke belakang dengan wajah yang terkejut. Dia tersenyum malu. Dia masih menggunakan seragam.

"Kenapa gak sekolah?!" tanya Yulita sambil menghampiri Seno yang sedang melukis. Dia melihat lukisan Seno yang abstrak, namun terlihat bagus. Dia teliti dalam-dalam. Ternyata lukisan itu menyerupai wajah seseorang.

"Kasian kalau lo ditinggal sendiri. Gue juga gak tenang kalau di sekolah. Jadi tadi istirahat pertama, gue ke sini. Takutnya lo kenapa-napa." Jawab Seno dengan santai sambil tangan kanannya mewarnai lukisan dengan pewarna merah.

Yulita memiringkan kepalanya untuk lebih jelas wajah siapa yang sedang Seno lukis. "Ini," dia menyentuh pewarna yang masih basah. "Yah," pewarna itu menempel di jarinya.

"Tuh 'kan," Seno mengambil tisu di samping kanan. Dia mempersilahkan Yulita duduk, lalu membersihkan jari Yulita yang terkena pewarna, sambil dia memperhatikan Yulita yang begitu serius melihat lukisan.

"Ini kok mirip gue." Yulita menoleh pada Seno. Dia terkejut saat Seno melihatnya begitu dekat. Jantungnya berdebar. "Kenapa," dia menghentikan kalimatnya. Dia merasa grogi.

Seno tersenyum-senyum. "Lo suka 'kan sama lukisan gue?" senyumnya begitu menggoda.

Yulita terdiam. Dia teringat sesuatu. Dia pernah mengambil lukisan Seno tanpa izin. Mungkin sekarang Seno mengetahui itu. Dia tersenyum malu. "Sorry, gue gak bilang,"

"Gue bisa bikin lukisan lo lebih banyak." Seno melanjutkan tangannya untuk membersihkan jari Yulita.

Yulita hanya tersenyum.

Seharian Yulita habiskan di rumah Seno. Belajar melukis, berenang, ngobrol, membuat makan dan makan bersama. Hingga akhirnya tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 21.25. Dia meminta Seno untuk mengantarnya pulang. Walau Ibu Marin berulang kali menyuruhnya untuk menginap. Namun dia tetap ingin pulang karena tak sabar ingin memasang lukisan yang baru saja dibuat oleh tangan Seno.

Yulita meminta untuk Seno menemaninya sampai tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas pangkuan Seno di sofa yang terdapat di kamar kaca. Udara yang dingin, membuat dia harus menyelimuti tubuhnya. "Hmmm, dingin!" dia menutup tubuhnya hingga ke leher.

Seno tersenyum melihat Yulita. Lalu dia mengusap rambutnya lembut. Sesekali dia jahil menarik hidungnya dan memainkan kedua pipinya. "Hmmm," dia mencubit pipi kanan Yulita hingga kesakitan.

"Aw," Yulita memegang tangan kanan Seno agar tak mencubit pipinya. "Kamu gak akan ninggalin aku lagi 'kan?" tanyanya sambil menatap mata Seno.

"Akan ada saatnya aku ninggalin kamu." Jawab Seno dengan senyum kecewa.

Yulita cemebrut. Dia mengerutkan kening.

"Setelah lulus SMA, aku akan militer, Yuy." Ada nada sedih.

Yulita menatap Seno, begitupun Seno. Perlahan dia tersenyum untuk meyakinkan Seno. "Aku pasti nunggu kamu." Dia memeluk tangan kanan Seno. Seno pun tersenyum tanpa kecewa.

"Kamu masih sama Milah?" tanya Yulita. Dia kembali lagi sedih.

"Semalem aku udah ngomong baik-baik sama dia. Jadi aku harap dia gak akan macem-macem sama kamu."

"Bukannya dia udah nyakitin kamu?" tanya Yulita sambil mempermainkan jari Seno.

"Bukannya Alam juga udah nyakitin kamu?" ketus Seno yang membuat Yulita menghentikan tangannya.

Yulita melihat Seno tajam.

Seno mengusap rambut Yulita. "Aku yang kasih dia kesempatan untuk kamu. Tapi ternyata,"

"Kita berhak bahagia bukan? Karena kita saling mencintai." Potong Yulita. Matanya menatap Seno lebih dalam.

Seno mengusap rambut Yulita. "Aku gak akan ngelakuin hal bodoh itu lagi. Seharusnya aku gak emosian dan gak egois saat itu. Mungkin ini gak akan terjadi. Mungkin aku gak akan pernah lepasin kamu saat itu. Dan pastinya," dia melihat Yulita yang sudah tertidur lelap begitu cantiknya. Dia hanya tertawa. Begitu lucu saat perempuan yang dia cinta itu tertidur di pangkuannya.

Dia menunggu Yulita untuk lebih lelap agar saat dia bergerak, Yulita tak terbangun. Matanya terus melihat wajah Yulita. Begitu beruntungnya dia saat ini. Memiliki apa yang dia ingin miliki.

TERIMA KASIH HUJANWhere stories live. Discover now