Ada tiga hal yang Ayu ingat ketika dia kembali ke rumah sakit siang itu. Obat untuk bibinya, administrasi yang harus dia lunasi dan menghindari pria itu.
Sayangnya tiga hal itu tidak berjalan lancar ketika pihak apoteker bekerja sangat lambat -menurut Ayu- untuk menyiapkan obat bibinya. Sehingga setelah lima belas menit menunggu, pihak administrasi sedang melakukan pergantian shift karena jam makan siang. Ayu tidak punya pilihan lain sehingga dia menunggu di kantin sambil mencoba mengurangi dahaganya.
Satu hal lagi yang tidak berjalan lancar ketika Ayu bertemu dengan pria itu. Mantan suaminya, si dokter yang kemarin mengobati bibinya.
"Kamu kan bisa minta tolong aku kenapa gak bilang?"
Dia mencoba tersenyum dan menjawab pertanyaan pria yang sudah duduk di hadapannya, "Oh... Sekalian, kan banyak soalnya"
"Ya, gak apa-apa. Lain kali bilang aku aja. Biar aku yang urus. Anak-anak gimana?" Pria itu membenarkan letak kacamatanya kemudian kembali melirik hpnya. "Arumi gak mau ketemu sama calon mamanya. Tolong omongin ke anak-anak kalo Papanya juga butuh pasangan hidup buat mengurus mereka"
"Oh, ya. Nanti aku ceritakan anak-anak..." Ayu menganggukkan kepala mengerti. Putri bungsunya pasti menolak bertemu calon ibu tiri mereka karena memang dia yang sangat manja kepada Papa dan Mamanya. "Dia bilang sama kamu atau marah-marah?"
"Ayesa yang bilang adiknya gak mau ketemu. Dia tinggal sama kamu kan minggu ini?"
"Kemaren dia gak tinggal sama kamu? Kamu di rumah sakit terus atau sibuk sama calon mamanya anak-anak"
"Yu..." pria itu menghela nafas
Ayu masih tidak mengerti dengan pria itu. Kalau memang ingin melepas tanggung jawab. Untuk apa bersikeras dipengadilan soal pembagian hak asuh kemarin. "Anjar. Kamu harusnya ngobrol sama anak-anak. Kalo gak ngobrol gimana mereka mau setuju soal nikah kamu besok?"
"Ya makanya aku ngomong sama kamu sekarang. Tolong bilang sama anak-anak dan kasih mereka pengertian..." lalu pria itu menyebutkan nama kekasihnya dan kembali berkata, "Dia sudah susah payah kemaren ajak Ayesa, Ardan sama Arumi. Tapi tau kan kalo Arumi itu gimana?"
"Itulah kenapa harusnya kamu ikut sama mereka, Jar. Supaya Arumi tau kalo kamu gak direbut sama pacar kamu dan calon mamanya itu baik ke dia. Kamu kan dokter harusnya paham psikologis anak gimana..." Ayu mendesah dengan kecewa. Mantan suaminya ini tidak pernah bisa menyadari bagaimana putri bungsu mereka yang manja itu merajuk meminta perhatian ketika anak itu menolak begini, "Arumi gak bakal mau ketemu kalo begitu ceritanya. Kamu rayu anak kamu yang benar, Jar"
"Ck" pria itu berdecak beberapa kali kemudian dengan kesal berkata, "Heran. Kamu kalo bawa pacar kamu kenapa mereka bisa deket sama pacar kamu? Kenapa giliran aku kok susah sekali"
Ayu hanya tertawa dengan pelan menanggapinya. Mana dia mengerti dimana letak kesalahan itu. Toh Anjar sendiri yang tidak pernah memperbaiki hubungannya dengan ketiga anak mereka.
"Arumi aku anter besok..." kata Anjar kemudian menarik lengan kemejanya
Perempuan itu tidak tinggal diam dan membantu mantan suaminya untuk menggulung kemeja dengan rapi. "Ya. Ayesa ada acara di sekolah sampe weekend. Ardan kan tau sendiri dia balik ke pondokkan lusa, kamu yang anter ya"
"Iya. Uang anak-anak sudah aku transfer. Oh, iya. Jangan lupa pesenin mereka baju dari sekarang..." Anjar tersenyum kemudian, "Mama mau kamu dateng juga"
"Oh, kapan kalian tunangan? Aku mau atur schedule aku. Tau kan kalo misalnya aku harus terbang juga?"
Anjar menganggukkan kepalanya, "Nanti undangannya sekalian pas anter Arumi. Kamu flight kemana?"
"Biasa. Rutenya kan cuma itu-itu aja..."
"Jangan lupa minum obat. Kamu gak medical check? Biar aku aja dokternya..."
Ayu menggelengkan kepalanya, "Sudah bulan lalu. Dua bulan lagi baru cek lagi. Kamu ada jadwal malem? Arumi sendirian di rumah kamu berarti?"
"Ah. Iya. Hm... Tetep aja besok aku anter Arumi... Aku balik dulu. Salam buat orang rumah"