Episode: Circle (5)

1.4K 162 1
                                    

Ketika usia kandunganku menginjak delapan bulan. Tiba-tiba ada pesan masuk ke nomorku yang lama. Dari Mbak Dewi mengatakan kalau akan ada acara tujuh bulanan di rumah Kelapa Gading. Itu rumah Mas Danu dengan istri mudanya. Aku hanya membalas kalau aku tidak bisa datang dan Mbak Dewi sepertinya mengerti.

Dari semua keluarga besar suamiku, hanya Mbak Dewi dan sepupunya saja yang menanyakan kabarku. Selebihnya tidak ada yang mencariku. Padahal aku tidak pulang sudah hampir enam bulan atau entahlah berapa. Bik Sani berkali-kali menelfonku, siang dan malam. Menanyakan kapan aku pulang.

Aku jawab seadanya saja. Bik Sani juga menjawab kalau Mas Danu juga bapak atau ibu dan saudara yang lain tidak pernah ke rumah. Sudahlah, Zoya. Memangnya apa yang bisa aku harapkan.

Aku meminta Yesi mencarikan rumah di Lombok. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan kemudian tenang. Yesi mendapatkannya setelah bertanya kepada salah satu kerabatnya yang kebetulan memiliki properti di pulau ini dan aku menyewanya.

Yesi datang berkunjung seperti biasa setiap minggu membawa berbagai macam bahan diskusi untuk kami berdua. Mulai dari bahan materi majalah sampai kandunganku yang tampak cukup besar.

"Mbak, agak sensitif sih. Tapi yakin nih gak mau bilang ke suaminya kalo mbak hamil..."

Aku menghela nafas. "Malas ah, Yes. Nanti aja kalo lahirnya cewek baru aku kasih tau..."

Mukanya langsung melongo. Lucu sekali anak ini. "Loh, mbak belom cek kelaminnya? Sayang dong kalo beli barang terus gak cocok..."

"Duh. Ya gak apa-apa. Kan aku belinya netral warnanya...."

Yesi mencebik. "Tapi serius ini suaminya gak dikasih tau? Yah, ada sih orang hamil yang aneh-aneh mbak. Misalnya tiba-tiba benci sama suami sendiri gitu..."

Aku mengangguk saja. "Sudah ah. Intinya kan mbak pernah bilang kalo mbak gak mau nanti anak mbak dicap bukan anaknya. Jadi sekalian aja pas lahir biar bisa tes dna. Gak diragukan deh"

Yesi memandang dengan sedih. "Ya, ampun. Mbak..." dia memelukku kemudian, "Mbak yang sabar ya... Ada aku kok, mbak. Tapi aku gak janji kalo nanti ada yang tanya aku pasti bakalan ngotot kalo ini anaknya suami mbak..."

Dia menepuk-nepuk punggungku. Satu tetes air mataku rasanya jatuh. Aku sudah sangat sedih dengan kabar tidak adanya mereka yang mencariku. Sepertinya memang aku hanya berdua di dunia ini dengan anakku.

...

"Selamat ulang tahun dek..."

Aku menghela nafas. "Makasih, Mas..." kataku dengan lemah

"Mas cari ke rumah tidak ada. Kata Bik Sani kamu pulang seminggu sekali. Sibuk kah dek?"

Bik Sani ini. Rajin banget bohongnya. Aku memang berpesan kepada Bik Sani kalau ada yang mencariku bilang saja aku di rumah satu minggu sekali. Sisanya dinas ke luar kota atau ke luar negeri.

Mas Danu berdehem di seberang sana. Dia memang menelfon pagi ini untuk mengucapkan ulang tahun. Aku sampai lupa kalau aku bertambah usia. "Kadonya mas kirim ke rumah, ya..."

"Makasih, Mas..."

"Hm. Dek?"

"Ya?"

"Kamu masih marah soal pernikahan Mas sama Samira..."

Aku mengelus perutku dengan pelan. "Ya, tapi sudah mendingan..."

"Kamu dimana dek? Kok ada suara ombaknya?"

Aku menghela nafas dengan pelan sekali lagi. Orang ini. Bikin kesal saja mendengar suaranya. Untung kandunganku tidak banyak rewelnya. Jadi tidak perlu sering-sering dengar suara Mas Danu. "Di pantai, Mas. Ada acara fashion show di dekat Pantai..."

"Di Bali? Tadi ada istrinya rekan bisnis aku katanya suka dateng acara begitu, dia ternyata juga suka fashion kayak kamu dan suka dateng acara begitu, kebetulan ke Bali juga. Apa aku titip ya Dek kadonya?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Gak usah!"

"Loh..."

Aku jadi sadar tadi aku hampir membentaknya. Kembali aku menghela nafas.

"Kamu kecapekan dek? Ya sudah. Mas tutup dulu. Istirahat ya..." lalu aku hampir saja memutuskan sambungannya sampai suara perempuan terdengar, "Salam buat Mbak Zoya, Mas. Terimakasih kado tujuh bulanannya..."

Aku menggerutu.

IPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang