Episode: Circle (7)

1.6K 168 2
                                    

Mbak Ayu dan Yesi sepertinya cepat akur, terbukti dengan Mbak Ayu dan keponakanku yang mengantar Yesi ke bandara tadi pagi. Lalu kami berakhir di Mall untuk membeli beberapa kebutuhan dan sekalian makan siang.

Keponakanku seperttinya terlalu lelah menemani kami memilih makanan sampai akhirnya dia menyerah ketika aku meminta Mbak Ayu untuk diantarkan ke salah satu toko perhiasan yang tadi aku lihat.

"Kamu mau beli apa emangnya?" Tanya Mbak Ayu

Aku mengedikkan bahu. Belum tahu mau membeli apa. Tapi aku punya keinginan kecil mamakai uang kiriman rutin Mas Danu.

"Zoya..." Mbak Ayu menahan lenganku ketika kami sedang melihat-lihat perhiasan, "Apa gak sebaiknya bilang kalo sebentar lagi kamu lahiran?"

Aku terdiam sebentar. Rasa ingin mengabarkan itu sangat besar, tapi kemudian aku tersadar kalau mereka memang tidak menginginkanku. Aku juga heran kenapa Mas Danu tidak menceraikanku saja.

Toh kebahagiaan mereka sudah lengkap. Samira sedang hamil dan kemudian ibu mertuaku juga semua iparku tampaknya lebih senang dengan Samira. Mas Danu yang tidak pernah datang ke rumah karena Bik Sani yang tidak pernah mengabarkanku apa-apa.

Aku hanya bisa menghela nafas dan menyeka air mata. Kembali menggelengkan kepalaku kepada Mbak Ayu. Perginya aku selama enam bulan ini menyadarkanku bahwa tidak ada orang yang menyayangiku. Lebih baik aku sendirian, terserah nanti bagaimana tapi aku tidak mau anakku diragukan seperti kata Bik Sani.

Mbak Ayu menggenggam tanganku dengan lemah. Dia ikut menangis tapi mencoba tetap terssenyum, "Mas Angga sama Mbak masih keluarga kamu ya, Zoya. Apapun jalan yang terbaik nanti, kami ada di samping kamu..."

"Iya mbak..." kataku dan mengingatkan agar Mbak Ayu tidak menangis lagi. Aku hanya bisa menjelaskan seadanya kepada pelayan toko itu.

Selebihnya aku kembali berpikir. Padahal aku ini mudah ditemukan, tapi mereka tidak mencari. Aku putuskan akan menggugat cerai Mas Danu dibanding menggantung dengan keadaan begini. Menanyakan kabar juga tidak, hanya memberi kabar kalau uangnya sudah dia kirim. Padahal aku sudah berusaha menanyakan kabar.

Mbak Dewi juga sama saja. Aku menanyakan kabar bapak dan ibu juga dirinya. Yang kudapatkan waktu itu mereka sedang sibuk berbelanja untuk anak Samira yang katanya perempuan itu.

Aku menelan kenyataan saja. "Nanti kalau sudah lahir dan aku balik ke Jakarta, mbak saja yang rawat anakku mau kan?"

"Hah? Kok gitu?" Mbak Ayu melirik tajam kepadaku

Aku menghela nafas, "Aku gak tahan mbak..." lalu setitik air mata jatuh. Mbak Ayu mengajakku keluar dari toko dan duduk di salah satu kursi tunggu, aku mulai melanjutkan penjelasanku, "Aku titip dulu, aku mau minta pisah. Nanti kalau sudah selesai semuanya. Baru aku ambil lagi, boleh ya mbak?"

Mbak ayu menatapku dengan sedih, "Kamu tuh lagi hamil, pikirannya suka gak bener. Kalau kamu pisah, anak kamu gimana?"

Aku menganggukkan kepala. "Gak apa-apa. Aku mau pisah saja. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar memang, tapi beberapa bulan ini aku sadar mbak. Sebaiknya gini..."

Mbak Ayu yang tampaknya mengerti kemudian membelai lenganku, "Bener juga. Nanti mbak sama mas bantu ya? Kalo memang kamu bisa dapat yang lebih baik, mbak hanya bisa mendoakan saja. Sudah jangan nangis..."

"Maaf ya, mbak..."

...

"Nggih, Bu. Iya, paling bulan depan balik. Arie sih minggu besok balik..." Mbak Ayu memberi kode kepadaku kalau dia sedang menelfon mertuanya. Aku kembali berkutat dengan Arie yang sedang menyuapiku

Arie sempat menggerutu karena aku minta tolong. Tapi aku lemas sekali. Tidak kuat untuk bangun dan meminta Arie membawakan makan.

"Tan, ayo dikunyah makananya. Nanti adiknya gak bisa makan..." Arie sepertinya gemas karena belum ada setengah piring dari tadi aku makan

Aku mencubitnya dengan gemas. "Duh. Kamu ini pantes banget jadi kakaknya, galak..."

Arie geleng-geleng kepala. "Udah lama pengen punya adik, Tan. Lumayan kan ada temennya kalo Papa Mama pergi..."

Aku meliriknya dengan menggoda lalu tertawa, "Nanti tante titip ya? Jagain loh, ya?"

"Kok dititip aku? Tapi gak apa-apa sih, Tan. Adeknya pasti pinter ya, suka gak rewel..."

Aku mengangguk menyetujui. "Oh, iya. Nanti kamu jangan ajarin yang nakal, ya. Biar pinter terus dari orok..."

"Ah, Tante. Arie ajarin taekwondo biar nanti bisa jagain Tante, boleh kan?" Arie tertawa. "Loh, loh, Tan! Kok pipis sih? Mamaaaaaah!!!"

Aku menoleh dengan panik ke arah yang ditunjuk Arie. Sudah banjir dan rembes dibawah sana. Aku panik! Ketubanku pecah. "Mbak..."

"Arie ayo nyetir! Arie..."

"Mah! Aduh! Iya! Papa gimana!"

"Telpon aja nanti... Zoya kok gak bilang kamu kalo kontraksi. Ayo ayo tarik nafas..."

Mataku menggelap

IPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang