Aku melihat Elfira sedang bercerita dengan semangat kepada Mbak Dewi dan juga beberapa ibu lainnya. Aku tidak tahu kalau wali orang tua juga memiliki grup pertemuan seperti ini. Setelah menanyakan kondisiku, Mbak Dewi mengajakku berkumpul dengan ibu-ibu lain teman Elfira.
Salah satu ibu dengan rambut panjang digerai tiba-tiba saja menatapku. "Mbak Zoya, mau ikut arisan gak sama kita?"
Aku menatap mbak Dewi, "Mbak..."
"Gak apa-apa..." kata Mbak Dewi menyetujui, "Mama Andin tapi Zoya bareng saya, ya? Nanti kalo sudah akrab baru sendiri-sendiri. Maklum Zoya ini agak pemalu..."
"Zoya ini adik iparnya Mama Elfira, kan? Istrinya Danu?" Salah satu ibu-ibu itu bertanya lagi
Aku menganggukkan kepala
"Beruntung banget Mama Elfira ini adik iparnya ini kan masuk dalam perempuan paling berpengaruh..." Ibu yang aku ketahui dipanggil Mama Dio itu pun tersenyum menatapku. "Saya sering baca majalah mbak, review soal pursenya saya suka..."
Untunglah sejauh aku berkumpul dengan mereka, mereka tidak pernah membahas masalah momongan. Hari itu aku pulang dengan Elfira yang tertidur dalam pangkuanku dan kakak iparku yang menggendongnya ketika kami sampai di rumah.
Satu minggu kemudian terasa biasa saja. Tapi anehnya Mas Danu juga jarang di rumah. Lebih sering keluar dengan alasan menemani Ibu dan Bapak. Awalnya aku merasa sedih karena ibu masih tidak mau mengakrabkan diri tapi kemudian aku mencoba biasa saja. Ibu mertua mana yang tidak sedih kalau menantunya tidak hamil setelah hampir 7 tahun menikah.
Sampai akhirnya Mbak Dewi datang bersama suaminya juga Elfira ke rumah. Bersama Ibu dan Bapak yang langsung saja aku persilahkan untuk istirahat. Tapi Ibu menolak. Beliau lebih memilih duduk di ruang makan dengan mengambil kursi di sebelah Bapak yang sedang minum teh.
"Ndak ada makanan? Kamu gak masak?"
Aku menggelengkan kepala mendengar pertanyaan sinis ibu. "Biasanya---"
"Sudah..." Ibu mengangkat telapak tangannya, "Danu mana?"
Dan seperti memang sudah tepat waktunya, Mas Danu datang lalu mencium tangan Ibu dan Bapak bergantian. Mas Danu duduk mengambil kursi di dekat Ibu dan aku hanya bisa tersenyum menyembunyikan kebingunganku.
"Ibu gak bisa lama-lama lagi. Danu, kamu jelaskan atau ibu yang jelaskan..."
Aku melirik ke arah Mbak Dewi meminta penjelasan. Tapi sepertinya Mbak Dewi memilih bungkam, begitu juga dengan suaminya. Kulihat Mas Danu hanya menghela nafas menatap ibunya dengan pasrah.
"Bu, biar Danu bicarakan sama Zoya. Ini masalah rumah tangga Danu..." kata Mas Danu
Pikiranku langsung melayang kepada perceraian. Tatapanku berubah menjadi lebih pasrah. Kalau memang tidak berjodoh dengan Mas Danu, aku baik-baik saja. Setidaknya berusaha baik-baik saja.
Aku memikirkan dimana letak kesalahanku sampai Mas Danu akan menggugat cerai kepadaku. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik kepada Mas Danu karena dia telah memberikan aku keluarga yang selama ini aku inginkan. Sebagai anak yatim piatu aku sama sekali tidak pernah merasakan punya keluarga.
Lalu dimana kesalahanku? Aku tidak pernah menuntut apa-apa karena aku merasa cukup dengan semua pemberian Mas Danu.
Sampai akhirnya aku melihat Elfira yang bermain dengan Bik Sani. Aku menunduk dan mebgulum bibirku dalam. Mengelus perutku yang rata dan tidak pernah selama hampir tujuh tahun ini dinyatakan mengandung janin.
"Sekarang saja. Toh acaranya minggu depan..."
Aku mengangkat wajahku. "Maksud ibu? Perceraian Zoya sama Mas Danu minggu depan?"
Aku melihat Mas Danu tersentak begitu pula dengan Bapak dan Mbak Dewi juga suaminya. Mbak Dewi memegangi lenganku dan Bapak hanya berdehem saja.
Bapak kemudian menoleh kepadaku, "Zoya... Bapak ingin kamu mengerti..."
"Ibu sudah bilang untuk ceraikan kamu tapi Danu tidak mau..." Ibu memotong ucapan Bapak dan memandangku tajam. Aku hanya bisa menelan ludah ketakutan.
"Bu..." mereka semua kompak menegur ibu
"Zoya dengar ya, Ibu itu bukannya bermaksud jahat. Tapi alangkah baiknya kalau keturunan kita itu langsung dari anak ibu sendiri, bukan anak angkat..."
"Bu, biar Danu saja yang jelaskan..." Mas Danu menahan lengan ibu dan menatapku dengan bersalah, "Dek, sebenarnya Mas sudah lama ingin sampaikan perihal masalah ini..."
Perasaanku tidak enak. Akan lebih baik kalau Mas Danu mengatakan hal ini berdua saja. Tapi sepertinya ibu sudah sangat tidak sabar. Aku menelan ludah sekali lagi menatap Mas Danu
"Mas minta kamu izinkan Mas untuk menikah dengan seseorang..."
Detik itu juga aku merasakan duniaku runtuh