Usia kandungan Samira sudah memasuki bulan kedua. Dan benar, Mas Danu tidak pernah pulang ke rumah. Aku hanya bisa tersenyum saja ketika Bik Sani menanyakan kabarku setiap kali aku pulang ke rumah.
Sejak pernikahan yang tidak aku datangi itu, aku membuat diriku menjadi lebih sibuk. Lebih banyak pekerjaan berat. Walaupun Mas Danu meninggalkan banyak kartu untuk kupakai tetap saja aku tidak mau.
Marah. Iya, bentuk kemarahanku seperti ini. Tidak adalagi pesan singkat yang saling mengabarkan. Hanya ada pesan pemberitahuan kalau Mas Danu sudah mengirimkan uang bulanannya. Sebagai tanda aku menghabiskan uang itu, aku membayar Bik Sani lebih banyak dari biasanya. Agar Mas Danu tidak curiga kalau kartunya tidak pernah aku gunakan.
Aku mulai mencicil mobil dengan uangku sendiri. Rumah juga. Makanya aku bekerja lebih keras. Aku tidak tahan tinggal di rumah. Jadi hanya Bik Sani yang ada di rumah dengan kebingungan dan kekhawatirannya kepadaku yang jarang pulang.
Pernah Bik Sani bertanya kenapa aku jarang di rumah. Tidak baik katanya. Bisa menimbulkan fitnah dan segala macam. Apalagi aku pergi dengan rekan kantor dan supir kantor. Bisa dikira yang tidak-tidak. Aku hanya berpikir bagus saja. Biar cepat bercerai dari Mas Danu. Aku sudah tidak tahan.
...
"Mbak Zoyaaaaa, akhirnya sadar juga..."
Aku mengernyit dengan bingung. Ketika aku bangun, aku menemukan satu infus dan asisten pribadiku yang tampak sangat khawatir memegangi tanganku.
"Selamat ya, Mbak. Aduh Mbak, kurangin kerja kalo gitu sekarang. Lucu deh Mbak, akhirnya Mbak hamil..."
Aku tidak tahu tapi aku lihat Yesi, asistenku itu kebingungan
"Lah? Kenapa Mbak?"
"Gak mungkin!" Kataku dengan cepat dan memegangi tangannya. Mencengkram lebih tepatnya. Bagaimana mungkin aku hamil kalau Mas Danu saja tidak pernah pulang ke rumah dan menyentuhku
"Bisalah! Mbak kan sudah nikah! Selamat ya akhirnya penantiannya selesai juga. Tapi harus banyak istirahat ya mbak, kandungan mbak gampang capek..."
Tidak mungkin aku berteriak kepada Yesi kalau aku tidak mungkin hamil karena suamiku tidak pernah di rumah. "Berapa lama?"
"Oh? Eh? Ah?" Yesi menggigit bibirnya, "Tiga bulan lho, Mbak. Lama juga ya dedek sembunyinya. Protes pasti Mbak banyak kerjaan..."
Tiga bulan. Tiga bulan.
Sebelum pernikahan itu terjadi. Jadi intinya? Aku lebih dulu hamil dibanding Samira? Istri kedua suamiku.
Entah kenapa. Tiba-tiba aku ingin menangis. Memegangi perutku yang masih rata itu dan melirik Yesi yang kebingungan.
"Loh, Mbak? Kok nangis? Terharu ya? Alhamdulillah akhirnya dikasih momongan. Jadi gimana nih? Masa aku telfon rumah mbak gak ada yang angkat. Nomor darurat di hp mbak juga gak ada. Keluarga mbak belom ada yang tau deh kalo mbak disini..."
Langsung kuseka air mataku dan memegangi tangannya kembali. "Jangan, Yes! Biarin aja mereka gak tau..."
"Mau kasi kejutan ya? Okedeh..." katanya kemudian tertawa
Aku menggelengkan kepala. Sebaiknya apa aku beecerita kepada Yesi atau tidak aku tidak tahu. Tapi mengingat Yesi adalah teman yang baik selama lima tahun ini, aku putuskan kalau aku harus berbagi keluh kesahku dengan dirinya.
...
Dokter bilang, kandunganku cukup kooperatif. Tidak ada mual, tidak ada ngidam. Makanya selama ini tidak terlihat. Dan aku sempat bertanya kenapa aku masih menstruasi dan dokter bilang itu flek karena aku stres. Ah, syukurlah.
Katanya aku harus mengurangi beban pekerjaan dan beban stresku. Sampai akhirnya aku meminta Yesi untuk mengantarku pulang ke rumah baruku. Dia sempat bingung dan aku mengajaknya duduk.
Aku ceritakan semuanya. Mulai dari Ibu yang selalu meminta cucu sampai akhirnya Mas Danu yang menikah lagi.
Yesi sempat shock dan akhirnya menangis sambil memelukku. Dia tidak percaya pada awalnya tapi akhirnya berjanji membantuku.
"Mbak, tapi biasanya usia empat bulan sudah kelihatan... Mbak masih mau kerja?" Tanyanya dengan iba, aku yakin kalau aku tidak mengancamnya tadi dia pasti masih menangis
"Pasti kamu mau minta si Radi itu jadi editor baru, kan? Dasar..." kataku kepadanya setengah bercanda
"Yey. Aku serius juga. Mbak kerja di rumah aja, nanti aku bantu bawain kerjaannya..." katanya kemudian melirik sekeliling kami, "Rumah mbak masih kosong ya, kalo gitu aku bantu isi-isi. Oh iya kata dokter kan mbak gak boleh capek. Gimana kalo pake pembantu..."
Aku menggigit bibirku. Bayangan kabur sudah ada di depan mataku. Aku tidak mau keluarga suamiku mengetahui kehamilanku. Aku takut. Takut seperti apa yang Bik Sani katakan kepadaku. Apalagi mereka tidak pernah menerimaku.
"Mbak mau pindah saja, Yes. Aku mau ke daerah gitu..."
"Loh kenapa? Kan susah kerjanya" Yesi sudah cemberut kepadaku
"Keluarga suamiku..."
Dan kemudian Yesi mengangguk mengerti, "Ya, udah. Nanti kerjaan mbak aku handle. Kerjanya online saja ya? Kaburnya ke tempat yang ada jaringan wifinya. Nanti aku bantu urus semuanya..."
Beruntungnya aku, Yesi masih peduli kepadaku.
