Karena merasa sudah mendapatkan maaf dari Shafiya, Jonas bertandang ke rumah soon to be girlfriendnya -yang harus sudah bisa dia akhiri masa menggantung mereka- itu dengan membawa sekotak coklat besar sebagai permintaan maaf.
Mama Kanaya mempersilahkan duduk dan mengatakan kalau anak-anaknya akan pulang sebentar lagi.
Mata Jonas hampir saja keluar dari kepalanya ketika melihat Kanaya turun dari mobil bergandengan dengan seorang laki-laki sedangkan Shafiya dengan belanjaan di tangannya.
"Wah!" Kanaya bersorak dengan cukup kencang lalu menoleh kepada Shafiya karena menemukan Jonas duduk menatapnya tajam, "Shafie Shafie, ada Jonas. Kalian beneran udah baikan, kan?"
Jonas tidak banyak memberi perhatian karena sibuk menatapi naik turun pria yang sedang merangkul soon to be girlfriendnya -tapi pending- itu.
Shafiya menganggukkan kepalanya, "Udah, sih. Kan nakutin ini anak, kalo gak dimaafin bisa-bisa diintilin..."
Mereka bertiga menatap Jonas. Menunggu cowok itu bicara. Tetapi Jonas malah sibuk dengan pandangannya kepada cowok di samping Kanaya.
"Ini siapa, Nay?" Tanya Jonas sambil menuding cowok yang merangkul Kanaya dan menatapnya tajam
"Gue? Gue Sony..." jawab cowok dengan perawakan lebih tinggi dari Jonas itu, "Ah..." dia melepaskan rangkulannya dan bbersedekap, "Kakaknya Shafiya kembarannya Naynay..."
Jonas mengerjap. Bergantian mengalihkan pandangan kepada Kanaya dan Sony yang memang tidak mirip.
"Jadi lo yang udah bully adek gue? Terus pdkt ke sodara gue?" Tanya Sony dengan nada mendominasi lalu menganggukkan kepalanya, "Ckckck. Pulang sana..."
Kanaya melirik bergantian Sony dan Jonas. Cewek itu hanya bisa menghela nafas setelah memijit keningnya, "Son, kok lu gak marahin sih?"
"Kenapa gue harus marah?" Sony menoleh kepada Kanaya, "Gue mau ngehajar aja tapi gue pegel nemenin lo bedua belanja. Lagian emang lo ngerasa di deketin dia?"
"Enggak..." Kanaya menjawab dengan santai, melirik Shafiya yang ternyata sudah tidak ada di sebelahnya. "Ih! Rok gue entar diembat Shafie, gue masuk dulu!"
Tinggallah mereka berdua di teras rumah. Jonas yang berdiri dengan takut juga sungkan karena Sony mengintimidasinya dengan tatapan pria itu.
"Si Shafie udah maafin lo, kan? Ya lo pulang sana..." Ucap Sony sekali lagi memperingatkan Jonas
"Kak, tapi gue belom minta maaf sama Kanaya..."
"Penting gitu?"
"Penting! Masalah hati gue, gue gak peduli Kanaya ngerasa apa gak yang penting dia ngomong dulu sama gue..."
Sony memijit dagunya. "Tapi, ya. Si Kanaya kalo abis shopping biasanya dia lupa waktu sambil nyobain bajunya, terus touch up, terus akhirnya fotoshoot tuh. Mending lo balik aja, dia lupa sama eksistensi lo"
"Berarti lo gak marah sama gue, kak?" Jonas meringis melihat tatapan Sony kepadanya
"Gak...."
Jonas mendesah lega
"Kanaya yang gak ngegubris lo udah cukup buat jadiin bahan hukuman lo..." lalu Sony terbahak seketika
...
"Lumayan juga namanya Jonas..." Sony menyendokkan nasi gorengnya bersamaan dengan Kanaya yang baru saja selesai mengambil piring
"Kan!" Kanaya mengejutkan saudaranya dengan pekikan. "Gue lupa tadi bilang Jonas kalo gue mau minta kontaknya..."
Sony melirik dengan sewot, "Lo kok..."
"Apa? Kan dia itu udah baik kemaren nganterin gue balik dan segala macem. Lagian ya, namanya anak sekolah kalo udah baikan gak boleh dendam-dendam lama-lama..." Kanaya memindahakan bungkus nasinya ke atas piring, "Kata bapak ustad itu penyakit hati. Tidak akan bahagia di dunia dapat siksa di akhirat..."
Cowok yang berusia sama dengan Kanaya itu hanya bisa melongo melihat saudara kembarnya. Lagi pula benar kata Kanaya. Tapi keterlaluan juga si Jonas itu membully adik kesayangannya. "Lo kayak apaan aja ngebelain anak orang..."
"Itu gak ngebelain, Son-son. Itu namanya bicara berdasarkan jiwa kemanusiaan..."
"Kalo pake jiwa kemanusiaan harusnya lo marah dong sama dia..."
Kanaya menghentikan aktivitas menyisihkan kerupuknya, menatap saudara kembarnya yang memandangnya dengan sendok di ujung bibir, "Udah... Udah gue tampar sama gue tabok, Son"
Cowok itu menelan ludah. "Terus dia masih ngejer lu gitu?"
Gadis itu mengangkat kedua tangannya, "Keren kan, gue..."
Sony hanya mengangkat kedua ibu jarinya dan menganggukkan kepala, hanya agar semua pembicaraan absurd mereka cepat selesai.