Aku melihat mas Danu selesai memperbaiki dasinya. Hari ini dia bangun agak telat, jadi aku pikir kami tidak akan sarapan, makanya aku sibuk dengan kotak makan dibanding membantu suamiku bersiap dengan dasi kerjanya.
Mas Danu menghampiriku dengan senyuman meringisnya, dia meletakkan tas kerjanya dan menerima ciuman di pipinya dariku dengan pasrah. "Dek, banyak sekali. Mas kayaknya gak habis..."
Aku tertawa dan membantunya membawa tas kerja dan juga bekal makan siang juga makan paginya. Kami berjalan beriringan menuju mobil di garasi.
Selama hampir tujuh tahun menikah, masalah kami yang paling berat adalah anak. Tapi Mas Danu masih terus berada disampingku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Jadi ketika ada masalah kecil seperti terlambat sarapan dan lain-lain, baik aku dan Mas Danu mencoba memaklumi dan mengerti.
Aku hanya bisa melambaikan tangan ketika Mas Danu menghilang dengan citycarnya menuju tempat kerja. Selebihnya, aku kembali masuk ke rumah dan berberes rumah.
Sebenarnya, mertuaku sudah sering menanyakan apakah Mas Danu ingin menikah lagi atau tidak agar keturunan keluarganya bisa berlanjut. Mas Danu adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarganya. Mbak Dewi adalah kakaknya sekaligus anak tertua. Dan beberapa adik Mas Danu
Bukan rahasia kalau keluarga Mas Danu merupakan orang terpandang dan pengusaha meubel yang cukup besar, sehingga Mas Danu diharapkan memiliki keturunan untuk melanjutkan usaha keluarganya. Sedangkan aku, aku hanyalah anak yatim piatu yang semenjak keluar dari yayasan, aku bekerja di salah satu majalah fashion sebagai editor.
Mengenal Mas Danu, awal mulanya karena majalah tempatku berkerja tertarik dengan furniture yang dimiliki Mas Danu untuk desain pemotretan. Kami tidak sengaja bertemu dan pada akhirnya saling berkenalan. Setelah cukup lama saling mengenal dan meminta restu kepada keluarga Mas Danu, akhirnya kami menikah pada saat usiaku masih 23 tahun. Mas Danu sewaktu itu sudah berusia 25.
Ibu mertuaku dan beberapa kerabat Mas Danu tidak seberapa menyukaiku, karena aku bekerja di majalah fashion itu. Katanya bukan ibu rumah tangga. Jadilah sampai sekarang aku belum hamil selalu dijadikan alasan penyebabnya, pekerjaanku itu.
Jadi selama seminggu ini aku memutuskan untuk cuti. Dan sudah lima hari lamanya aku di rumah. Mencoba peruntungan agar kali ini kami diberikan keturunan. Mas Danu tampaknya tidak banyak terganggu. Dia juga senang aku di rumah. Lebih tenang katanya.
Mbak Dewi katanya akan berkunjung ke rumah hari ini. Kebetulan suaminya yang bekerja di dewan perwakilan rakyat itu sedang berangkat untuk pergi studi banding atau apalah aku tidak mengerti.
"Mbak mau minum apa?" Tanyaku ketika Mbak Dewi sudah duduk di ruang tamu membuka majalah
"Hm. Sirup melon aja..." katanya
Aku dengan sigap mengeluarkan sirup dari kulkas dengan botolnya. Membuatkan pesanan Mbak Dewi dan meletakkannya di meja depan Mbak Dewi.
"Ibu mau dateng sama bapak, minggu depan..."
Aku mengangguk.
"Ya, kamu gak keberatan kan kalo mereka nginep hotel?" Mbak Dewi memandangku seperti orang yang merasa bersalah
"Loh, ya. Gak apa-apa mbak. Mungkin ibu sama bapak lebih nyaman di sana..."
Mbak Dewi mengangguk-angguk mengerti. Sebenarnya terbersit rasa kecewa di dalam hati karena mertua sendiri tidak mau menginap di rumah. Tapi aku kembali berpikir positif, mungkin maksud ibu dan bapak tidak mau merpotkan. Jadi aku berusaha mengerti.
Kakak iparku ini orangnya baik. Dia sudah memiliki satu putri cantik yang baru saja masuk ke sekolah dasar.
"Zoya, kamu ikut mbak jemput Elfira ya? Kasihan kalau kamu di rumah saja..."
"Gak apa-apa. Jam berapa mbak jemputnya?"
"Jam sebelas nanti. Tapi kita berangkat jam 9, ya? Kamu siap-siap aja dulu..." Mbak Dewi kemudian menutup majalahnya, "Kamu gak mau keluar dari kerjaan kamu?"
Aku menggelengkan kepala, "Enggak. Hm..."
Mbak Dewi hanya menghela nafas. Sepertinya mencoba mengerti dan kembali menatapku, "Nanti yang sabar sama ibu, ya?"
"Iya..."
"Jangan ungkit soal angkat anak lagi..." Mbak Dewi kemudian menghela nafas lagi. Memang sejak setahun belakangan ini, Aku dan Mas Danu sudah agak sering mengangkat topik adopsi. Mas Danu setuju karena kemungkinan kami mengangkat anak akan menjadi pancingan untuk kehamilan cukup besar. Tapi tidak ibu mertuaku tidak berpikir begitu. Beliau tidak mau kalau akhirnya akan menjadi harapan palsu dan ternyata aku memang tidak bisa hamil.
Tapi dokter bilang aku dan Mas Danu baik-baik saja. Mungkin memang Tuhan belum mau menitipkan karuniaNya kepada kami.
"Apa Danu gak bicara sama kamu soal sesuatu? Selain adopsi maksud, Mbak..."
Aku menggelengkan kepalaku. Memang sejak beberapa minggu ini Mas Danu dan aku hanya bicara seadanya tapi tidak membicarakan tentang adopsi. Kami hanya bahas seputar masalah keuangan keluarga kami. Maklum saja, sekarang Mas Danu sudah naik jabatan. Ada peningkatan pemasukan, jadi kami ingin menghandlenya sebaik mungkin.
"Ya, sudah. Mungkin nanti. Kamu siap-siap, Mbak mau telfon bapak ibu dulu..."
![](https://img.wattpad.com/cover/125701130-288-k625332.jpg)