"Shafie dimana?"
Tidak ada jawaban. Hanya ada helaan nafas dan kemudian sebuah suara manja yang berkata, "Gerbang samping..."
Kanaya tersenyum kemudian, "Nih, Kakak udah di samping..." lalu perempuan itu dibuat terkekeh ketika adiknya dengan seragam putih-abu mendekat sambil mengerucutkan bibir.
Shafiya adalah anak paling bungsu di kekuarga Kanaya. Dia dan saudaranya sangat menunggu kehadiran Shafiya dulu, walaupun Kanaya tidak bisa datang karena dia berada di kediaman tantenya ketika Shafiya lahir.
Sewaktu semua terasa berat untuk Kanaya, Shafiya berada di sana. Menggenggam tangannya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Itu semua terjadi ketika Kanaya masih berada di titik pencarian jati dirinya. Cukup lama. Sejak Kanaya SMP sampai kemudian kuliah, gadis itu mengalami beban hidup yang cukup berat. Bersamaan dengan saudaranya. Tapi adik kecilnya berdiri di depan rumah, menunggunya, menyambutnya dengan senyuman dan mengatakan dia ingin seperti kakaknya.
Support psikologis yang begitu hebat diberikan Shafiya kepada Kanaya menjadikan Shafiya adalah sumber kebahagiaan Kanaya. Walaupun mereka terhitung lebih sering bertengkar. Dimulai dari Kanaya yang senang mengatakan hal jelek kepada adiknya dan adiknya menangis. Berakhir kepada adiknya mengadu kepada ke dua orang tuanya.
Seperti sekarang, Kanaya sudah tidak tahan mengatai wajah adiknya yang kusut dan seragam yang lusuh juga kotor.
"Ih, jorok amat pantes jelek..."
Shafiya menoleh dengan tajam kepada kakaknya. Perempuan yang lebih tua dari dirinya itu tampak bahagia cekikikan dan kemudian sibuk dengan gadgetnya, Shafiya mendengus. Cemberut mendengar komentar yang semakin membuat moodnya down
"Mandi kamu abis ini, bau..."
Shafiya menghela nafas, "Mau bobo aja..." gadis itu sudah berguling lebih dekat ke kakaknya dan memeluk kakaknya dengan manja.
Melihat perilaku adiknya, Kanaya mengernyit. Menoleh dengan cukup hati-hati karena takut Shafiya merasa tidak nyaman atas perubahan gerak tubuh Kanaya. Gadis itu berdehem. "Besok pulang sekolah, kakak traktir es krim deh...."
"Gak mau sekolah..." jawab Shafiya dengan datar, "Capek tau. Duduk, bisa kali ambeien. Mau libur sehari aja..."
"Ih, gak bisa gitu dong..." protes Kanaya, "Dulu gue aja nih walaupun patah kakinya tetep aja disuruh sekolah sama Papa. Enak aja lo gak ada angin gak ujan gak mati juga malah minta libur..." Kanaya menggeplak pipi adiknya yang kemudian terduduk menatapnya kesal, "Sekarat dulu baru boleh gak masuk sekolah..."
Shafiya mengalah, bersandar pada pintu di sampingnya dan kembali mendesah kecewa, "Kalo gitu mau pindah sekolah aja..."
Kembali Kanaya mengeluarkan kata-kata ceramahnya seperti yang biasa dia lakukan kalau Shafiya sudah merajuk seperti ini. "Mau pindah kemana Shafie? Sekolah elo itu udah paling bagus sejagad raya..." Kanaya menggelengkan kepalanya, "Maksud gue, sekolah elo itu udah masuk paling kece kan, masuk sekolah negeri paling bagus seIndonesia Raya. Mau pindah kemana coba?"
"Ah, kakak mah. Sekolah tuh sama aja semua, nanti kan juga kalo pindah kali aja aku dapet rekomendasi buat masuk ke kampus yang aku pengen kan? Kalo dari sini mah saingannya banyak..."
Kanaya menganggukkan kepalanya, "Bener juga..."
Shafiya menoleh dengan antusias, "Jadi boleh pindah?"
Kakaknya melirik sejenak, memainkan ponsel kemudian melirik kembali kepada Shafiya yang sudah menatap penuh harap kepada kakak perempuannya, "Gak boleh..."
"Halah..." Shafiya menggerutu pada akhirnya. Dia memilih memejamkan mata dan tidur. Kakaknya dan keluarganya tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Shafiya di sekolah. Semuanya terlihat baik-baik saja ketika anak itu pulang ke rumah. Kenyataannya? Shafiya bahkan tidak tahu harus memulai dari mana cerita tentang masalahnya.
Gadis tujuh belas tahun itu kembali mengintip kakaknya yang tampak asik dengan gadgetnya sendiri. Shafiya jadi iri dengan kakaknya, banyak temannya mengatakan kakaknya adalah kakak goals. Demi Tuhan, mereka tidak tahu kedua kakaknya super jahil.