Aku duduk dengan kikuk. Berhadapan dengan Mas Angga dan juga istrinya Mbak Ayu. Mereka berdua ini sepupu Mas Danu dari Bapaknya. Sudah menikah dan hanya memiliki satu putra yang sudah menginjak smp.
Mereka marah sekali kepadaku dan memaksaku menceritakan kronologi kenapa aku sampai berada di rumah sakit kandungan di Mataram sana dan mereka menemukanku.
Aku hanya bisa pasrah saja sekarang. Mbak Ayu sudah menangis memelukku dan kemudian Mas Angga yang geleng-geleng kepala. Mereka bilang mereka ada acara liburan sampai akhirnya salah satu teman anaknya itu ada yang masuk rumah sakit karena alergi.
Berhubung rumah sakit yang paling dekat adalah rumah sakit tempatku kontrol, akhirnya kami bertemu secara tidak sengaja dengan aku yang memegangi perutku dan Mbak Ayu yang menyapaku dengan tidak yakin.
"Harus kasih tau budhe dan pakdhe..." Mas Angga kembali bersikukuh dan aku kembali menggelengkan kepala
"Udah, Mas. Aku gak yakin mereka mau terima anak ini. Paling juga mereka gak yakin ini anaknya Mas Danu..."
Mbak Ayu memukul lenganku. "Hush! Kamu ini! Gak bisa begitu. Ini anaknya Danu, gimana kamu bisa berpikiran begitu sih, Zoya?"
Aku menghela nafas dan kembali mengingatkan kedua orang ini. "Mbak, Mas. Aku mohon. Sampai anakku lahir aja, habis itu kita kabari mereka. Aku gak siap stres dituduh macam-macam. Lagi pula aku pergi dari rumah juga gak dicariin. Udah lah mbak, kalaupun nanti aku cerai---"
"Sudah! Sudah!" Mas Angga tampaknya kesal dan memandangku, "Ya sudah. Kami gak bilang. Tapi kamu harus tetap kasih kabar kami. Begini saja, due date kamu kapan?"
Aku mengingat-ingat perkiraan dokter dan menjawab dengan mantap. "Tiga minggu lagi, Mas..."
Mas Angga menghela nafas dan menoleh kepada Mbak Ayu, "Yu, kamu mau temani anak keras kepala ini apa gak? Aku khawatir masa persalinan gak ada temen..."
Mbak Ayu menatapku dengan marah, "Harus itu. Ya udah. Mbak temenin kamu, kamu jangan nolak. Kita ini saudara. Mbak gak akan kasih tau budhe pakdhe tapi kamu harus nurut kami, ya?"
"Gimanapun kamu itu masih adik kami, Ya. Biar Mbak Ayu yang ikut tinggal, nanti Mas datang dua minggu lagi, ok?"
Dan akhirnya hari itu berakhir dengan Mbak Ayu yang memaksaku berhenti bekerja di depan laptop lalu menyuruhku tidur.
...
Yesi tercengang mendapati Mbak Ayu yang sedang bercokol dengan tanaman hiasnya. Sudah satu minggu Mbak Ayu menginap dan rasanya sama seperti memiliki seorang kakak yang khawatir kepadaku. Menyenangkan sekali.
"Mbak, ini Yesi asistenku..."
Mbak Ayu dengan sumringahnya langsung menyalami Yesi yang kebingungan, "Makasi loh ya sudah bantu Zoya. Gimana? Ada suaminya cari ke kantor?"
Yesi meringis seketika. Aku menebak memang tidak ada orang yang mencariku
Mbak Ayu merasa bersalah sepertinya dan menarik Yesi untuk duduk. "Sudah, deh. Mau coba cicip bolu gak? Mbak lagi kepengen terus buat..."
Yesi kemudian mengangguk dengan sopan. "Euh, itu siapa mbak?" Tanyanya setelah Mbak Ayu menghilang dari pandangan kami. Rumah ini memang tidak terlalu besar, tapi aku yakin kalau Mbak Ayu akan cukup lama berjalan menuju dapur
"Sepupunya suami aku..."
"Loh, jadinya keluarga suami mbak?"
Aku menggelengkan kepala, "Kepergok. Tapi mereka gak akan ngomong..."
Yesi mengangguk pelan. Mbak ayu datang dengan dua piring kecil yang berisi potongan bolu. Yesi sampai menganga dengan kuenya yang cukup besar.
"Mbak tuh gak bikin banyak, ala kadarnya aja. Kebetulan anak mbak mau dateng nanti malem, mau jenguk tantenya..."
"Oh..." Yesi menganggukkan kepala dengan canggung
Aku merasa cukup lelah dan akhirnya bersandar ke sofa. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena aku mengantuk sekali. Biar saja mereka bicara entah apa.
Tapi aku sayup-sayup mendengar Mbak Ayu bicara kepada Yesi. Sepertinya jarak mereka gak jauh denganku tapi aku bisa mendengarnya samar. Jadi aku tetap memejamkan mata saja.
"Yah... Keluarga suaminya itu lagi senang karena istri kedua suaminya sedang hamil..."
"Kasihan sih mbak Zoya... Titip ya mbak..."
"Gak perlu dikasih tau juga saya jagain. Makasih ya kamu sudah nemenin Zoya. Mbak gak bisa bayangin kalo dia sendirian selama ini..."
"Iya... Kenapa mbak sayang banget sama mbak zoya?"
"... Ya sama, anak saya cuma satu, mertua pengen cucu cewek. Sama aja rasanya kayak zoya, tapi bedanya mertua saya gak menuntut gitu. Jadi saya kasihan juga sama zoya..."
"Oh gitu... Hm. Berat ya mbak? Tapi mbak mau kasih tau keluarga besar mbak kan?"
"... Kalau Zoya mau saja. Soalnya feeling mbak nanti dia minta cerai... Kasihan kalo sama keluarga saya terus..."
"Iya saya juga kepikiran gitu..."
Cerai? Entah kenapa itu terdengar sebagai ide bagus untukku. Aku hanya bisa tertidur saja pada akhirnya.