#4
Hanbin POV
-Flashback-
Gadis itu menggunakan dress berwarna peach selutut dengan model off shoulder yang mengekspos bahunya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan indah. Hanya makeup simple yang meghiasi wajahnya, namun justru itu yang semakin memancarkan aura cantiknya. Kaki jenjangnya melangkah elegan menuruni tangga. Ada senyum bahagia terpaut di wajahnya. Sungguh, Jennie amat teramat cantik malam ini. Penampilannya kali ini benar- benar berbeda dari biasanya yang tergolong agak tomboy. Untuk sepersekian menit aku benar- benar terpesona. Disampingku, Bobby juga menganga melihatnya.
"Sepertinya kita berbakat menjadi penata rias," ucap Jisoo yang disambut anggukan oleh Lisa dan Rose.
"Yah, meski aslinya Jennie memang sudah cantik. Kita hanya perlu mengubah sedikit gayanya saja," timpal Rose.
"Semangat Jendeukki! Semoga hari ini bisa menjadi hari jadianmu," ucap Lisa yang membuat pipi Jennie memerah bak tomat.
"Ekhm, sudah? Ayo berangkat," aku menggaet Jennie dan memasuki mobil audi hitam lalu segera meluncur meninggalkan rumah Jennie.
Jantungku berdebar kencang, ini bukan pertama kalinya aku merasakannya pada gadis disampingku ini. Namun kali ini, ada hal lain yang membuat perasaanku teraduk. Entahlah, aku merasa senang sekaligus sakit bersamaan.
"Makasih ya, bin," Jennie memelukku sekilas, lalu turun dari mobil. Hampa. Friendzone memang menyakitkan.
Aku tersenyum kecut memandangi Jennie yang memasuki restoran mewah itu lalu duduk bersama Taeyong, lelaki yang sudah lama disukai Jennie. Kaca restoran itu membuatku bisa memandangi mereka berdua walaupun dari mobil. Mereka saling melempar senyum. Tak mau berlama- lama menyaksikan pemandangan itu, aku langsung mengarahkan mobilku menuju rumah.
-Flashback Off-
Tak ada perbincangan di mobil ini. Kini aku dan Jennie sama- sama termenung pada pikiran masing- masing. Tak ada satupun diantara kami yang membuka mulut. Setelah pertemuan tak disengaja antara Jennie dan Taeyong tadi, pikiran dan hatiku kalut. Satu sisi aku sangat ingin melindungi Jennie, meskipun hanya sebagai sahabatnya. Tapi apa aku bisa merelakan Jennie kembali pada Taeyong? Bolehkah aku egois kali ini? Tapi Jennie? Aku memang bisa membaca pikiran, tapi bukan hati. Apa Jennie masih menyukai lelaki itu? Jennie amnesia, apakah rasa cinta di hatinya juga bisa hilang? Apa tak ada kesempatan buatku?
Ah, Kenapa jadi mellow begini. Sebelum pikiran- pikiran sialan itu mengusikku lagi, aku segera mengalihkan pandanganku pada Jennie yang duduk menatap jendela samping.
"Tadi mau membeli apa? Katanya kau mau membeli sesuatu?"
Jennie memandang ke depan. Tak menjawab.
"Kau tak nekat menemui pria misterius itu, kan?" tanyaku dengan nada sedikit meninggi.
Jennie melihatku sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke depan lagi.
"Tidak," jawabnya singkat.
Aku meraih hp Jennie dengan kasar. Jennie memandangku tak suka, aku tak menghiraukan tatapannya.
From : 08xxxxxxxxxx
Lantai 5. Kau akan tahu segalanya.
Aku menepikan mobil dan langsung mengembalikan hp Jennie. Aku menatap Jennie lama, Jennie hanya memandang kearah depan.
"U can't fool me," ucapku sarkatis.
Jennie mendecih sebal, lalu menjawabku dengan nada ketus.
"Aku memang berencana kesana. Tapi sebelum sampai, aku malah bertemu si Taeyong itu. Lalu kau tiba- tiba datang menarik paksa tanganku," ucapnya sebal.
Aku menghela nafas kasar, setelah sekian lama Jennie akhirnya menyebut nama itu lagi.
"Kenapa tak memberitahuku terlebih dulu? Haruskah kau pergi sendiri? Bagaimana kalau ini hanya jebakan?" tanyaku beruntun.
Jennie diam, dan sepertinya tak berniat menjawab.
Dengan hati- hati dan kemantapan hati, aku menguatkan diri untuk bertanya.
"Jadi, kau ingat Taeyong?" tanyaku perlahan.
Jennie menggeleng lalu balik bertanya, "apa benar dia kekasihku?"
Pertanyaan singkat yang menohokku.
****
Aku memulangkan Jennie ke apartemen Rose. Dengan beribu alasan aku menitipkan Jennie untuk menginap disana. Untungnya, Rose tidak secerewet Jisoo. Mobil Hyungwoon Hyung sudah terpakir di garasi. Tumben. Aku melirik jam tanganku, ini masih pukul 6, biasanya hyung pulang pukul 8 malam.
Bodoh. Ini kan hari sabtu. Pantas saja hyung pelang cepat.
"Hyung.." Aku mendapati Hyungwoon hyung sedang duduk sembari mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku mendekat dan duduk kesana.
"Eoh, sudah pulang? Jennie dimana?" Hyungwoon Hyung masih memfokuskan pandangannya ke laptop.
"Di apartemen Rose. Hyung, apa kau akan terus di rumah saja? Kapan berpikir untuk memiliki kekasih? Aku ingin keponakan," ucapku jahil. Yah, inilah sisi jahilku yang terkadang terlihat kekanak- kanakan bila berhadapan dengan Hyungwoon Hyung.
"Eomma dan Appa saja belum menuntut itu dariku. Apa kau ingin cepat- cepat berpisah tingal denganku, hah?" Hyungwoon Hyung menjitak kepalaku.
Aku hanya terkekeh pelan. Usiaku dan Hyungwoon Hyung hanya terpaut 4 tahun, dan dia sudah bisa menjadi dosen + dokter. Selain otak cerdasnya, wajahnya bisa mengelabui banyak orang. Terkadang, orang- orang bahkan menganggapku yang lebih tua karena baby face yang dimiliki olehnya, apalagi kami memang tidak mirip. Dia adalah kakak tiriku. Eommanya menikah dengan appaku 10 tahun yang lalu. Meski begitu, brothership kami sangat kuat. Mau bagaimana lagi? Orang tua kami sering bepergian jauh untuk waktu yang lama, jadi ya, aku terbiasa berdua dengan Hyungwoon Hyung.
"Serius hyung. Aku yakin kau amat mudah menemukan kekasih," ucapku. Beberapa waktu kemudian, aku baru tersadar bahwa ada dua cangkir teh dihadapanku. Belum sempat aku bertanya, seorang gadis berpakaian dokter datang dari arah kamar mandi. Gadis itu nampaknya teman kerja hyung. Ia duduk diseberangku dan menyapaku dengan senyuman ramah.
"Yah, aku sudah mengabulkan satu keinginanmu kan?" Hyungwoon hyung menyeringai jahil.
Aku berpikir keras, sepersekian detik kemudian aku menyadari bahwa gadis di depan ini adalah kekasih hyungku. Aku menyunggingkan senyum, meski kesal karena hyung tak pernah menceritakan apapun padaku.
"Anyeong, Irene noona," ucapku sembari membaca nametag di bajunya.
****
Lanjut tydak ya, lanjut tydak yaa----