-..... Sayangnya, aku adalah seorang puteri yang memiliki kriteria pangeranku sendiri. Dan berdasarkan penilaianku, kau justru masuk kategori iblis, selamat!-
.
.
.
Flashback
Taeyong mencengkeram kemudinya kuat- kuat. Matanya memandang marah pada gadis yang baru saja keluar dari mobilnya. Pandangannya beralih pada sebuah mobil SUV hitam terparkir di halaman rumah gadis itu.
"Hanbin?" ucapnya kecil.
"Apa ini karena Hanbin?" ucapnya lagi.
Taeyong tertawa miris. Wajah tampannya seketika menjadi beraura gelap.
Lelaki berambut terang itu mengeluarkan sebuah cutter dari dashboard mobilnya lalu menyayat tangannya sendiri.
Ia memperhatikan goresan- goresan yang ada di tangannya. Goresan- goresan yang dibuatnya sendiri ketika ia merasa kesal, sedih dan tertekan. Entah sejak kapan, namun melihat guratan- guratan itu selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik lagi.
Ia tersenyum miris lagi.
Baru saja luka- luka sebelumnya kering. Beberapa hari ini ia merasa bahagia karena akhirnya bisa bersama Jennie. Sehingga ia tak perlu melukai diri lagi. Tapi apa? Ternyata Jennie hanya mengerjainya?
Taeyong menarik tisu lalu mengelap darahnya sembarang. Matanya kini berkilat.
Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. "Kali ini aku akan bergabung. Aku tak akan melindungi dia lagi!"
****
"Jennie belum sampai?"
Hanbin berlari kearah basement sesaat setelah menerima telepon dari Seulgi. Dugaannya sepertinya benar. Harusnya setelah Jennie memutuskan sambungan teleponnya tadi, ia langsung kesini. Kenapa ia baru menyadari keganjilan dari nada bicara Jennie tadi? Shit!
Dengan cepat jari- jari Hanbin mencari kontak June lalu melesat masuk ke mobilnya.
"Jun! Aku tunggu kau di mobilku, sekarang!"
Hanbin mengusap ponselnya lagi lalu melacak sinyal ponsel Jennie.
"Kali ini aku tak akan melepaskanmu!"
Junhoe masuk dengan tergesa- gesa. Hanbin langsung menjalankan mobilnya, tanpa banyak berkata apapun lagi. Yang Junhoe tahu, ini pasti tentang Jennie. Ditambah lagi, peta lokasi dihadapannya menunjukkan hal itu.
Hanbin memacu kecepatan mobilnya menggila. Ia bahkan tak memperhatikan lagi lampu lalu lintas. Pikirannya kalut dan terpaku pada Jennie. Ia yakin Jennie tak sedang baik- baik saja. Ditambah lagi, arah mobil Jennie bukannya ke kafe, tapi terus melaju menjauh ke tempat lain.