Anyeoong...
Next..
Happy reading..
*-*
"Kemana? Tumben?"
Semilir angin pagi memberikan kesejukan nan menggoda untuk menutup mata kala itu. Sayangnya, yang disana tak rela memberikan waktu sejenak pun meskipun tempat dan pribadi sudah siap tergoda.
Ctar.
Tubuhnya menjingkat. Terkejut, kaget dan syok dengan kedatangannya yang tiba-tiba bahkan dengan lonjakan tongkat kayu panjang yang mencetar diantara mejanya. Matanya membelalak, menatap manik mata menyeramkan itu. Sejenak, kemudian menundukkannya karena rasa takut yang mencekam.
"Tidur saja nggak papa"
"Nggak, Pak" jawabnya ketakutan, tangannya gemetar mengeluarkan keringat dingin.
"Tadi saya cuma pemanasan. Kalo ada yang tidur lagi di jam pelajaran saya, saya nggak akan mukul tongkat saya ke meja. Tenang saja" katanya. "Tapi langsung saya pukul ke punggung kamu" ancam Pak Pramono, guru Matematika yang super killer dengan peraturan yang dibuatnya sendiri tanpa persetujuan pihak kedua.
Beberapa korban hampir saja dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung mendadak tanpa adanya tameng hingga tanpa perlawanan. Beberapa hari lalu seorang korban hampir mematahkan kakinya karena lari mengelilingi lapangan sepakbola yang bisa dibilang nggak kecil. Sementara, ada yang dilarikan ke UKS karena kelelahan plus kelaparan saat menjalani hukuman lain dari Pak Pramono.
"Coba elo telpon" titahnya lirih.
Sementara Pak Pramono mengancam siswa lain, dua insan di sudut kelas bergumam beradu argumen.
"Gila, elo pengen gue mati di tangan Pak Pram?" jawabnya setengah emosi.
"Iya? Ada yang ditanyakan, Jimin?"
Semua mata mengarah pada Jimin, mereka merasa lega, akhirnya ada yang mengalihkan perhatian dari ancaman Pak Pramono.
"Ha?" Jimin baru sadar telah menyebut nama guru super killer itu hingga tatapan elangnya beralih pada Jimin. "Ah, saya..saya mau minta ijin ke toilet, Pak"
"Tahan. Mengikuti proses belajar mengajar itu penting. Apalagi sebentar lagi kalian UTS. Belajar yang bener, jangan taunya cuman ijin ke toilet buat kabur dari pelajaran"
Mereka cuma melongo mendengar ceramah padat nan panjang dari Pak Pramono, beberapa mencoba mengelus dada saat tiba-tiba gertakan membuat jantung mereka hampir copot. Pelajaran Matematika yang seharusnya berurusan dengan angka kini berubah menjadi khutbah jumat dengan dalil-dalilnya.
*-*
"Untung gue punya jantung yang sehat"
Pidato panjang Pak Pramono berakhir dengan diawalinya jam istirahat. Jennie dan Jimin kembali ke sarangnya, rooftop sekolah yang nggak pernah ramai alias selalu sepi.
Jennie mengetuk layar touchscreen ponselnya. Mengirim sebuah pesan untuk Taehyung yang menghilang tanpa kabar. Taehyung absen untuk pertama kalinya sejak masuk di sekolah itu. Taehyung bukannya hilang, lenyap ditelan bumi hanya saja dia tak memberikan kabar apapun mengenai keberadaannya ataupun alasannya absen.
"Nggak dibales"
"Telpon aja, kelamaan nunggu balesan"
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar servis area.
"Nggak aktif?"
"Hm" jawab Jimin dengan anggukan.
*
"Menurut elo dia kenapa?" Jennie menendang bantalan yang dipegang kuat Jimin.
Jimin bukanlah pelatih beladiri, bahkan bukan ahli beladiri. Hanya saja, Jimin bisa dikatakan 'bisa' untuk melakukan beberapa gerakan beladiri karena sempat mengikuti latihan beladiri beberapa kali dulu. Dan bukan masalah besar mengajari Jennie jika hanya gerakan dasar ilmu beladiri.
"Shopping?" jawab Jimin seadanya.
"Yang bener aja, Jim. Dia Taehyung bukan elo yang suka keluyuran ngabisin duit orangtua" sindir Jennie pada Jimin yang hampir tak ada masalah menghabiskan beberapa ratus ribu hanya untuk sepotong baju ataupun sepasang sepatu bermerk.
"Becanda, ya kali aja dia khilaf" katanya. "Lebih keras lagi" titah Jimin saat dirasa tendangan Jennie mulai melemah.
Hyat.
Jennie berteriak, bermaksud memberikan energi lebih pada tendangannya.
"Jangan-jangan dia sakit" kata Jimin diantara tendangan Jennie yang melayang.
Bruk.
"Auh" Jimin ambruk. Tendangan yang seharusnya jatuh pada bantalan justru melayang di pipi Jimin.
"Sorry, elo nggak papa?"
"Nggak papa sih, cuman perih"
"Jim, gue cabut"
Jennie meraih tasnya di kursi dan pergi meninggalkan Jimin tanpa mengatakan apapun bahkan tanpa melepas balutan di tangannya.
***
"Jen, tungguin gue" Jimin ngos-ngosan mengejar Jennie yang entah kemana arah dan tujuannya.
Tapi jalan yang dilaluinya saat ini bukanlah jalan asing yang tak diketahuinya. Jimin tahu betul jalan itu. Beberapa kali bahkan puluhan kali ia menelusurinya bersama Jennie dan Taehyung menuju markas lain selain markas rumah Jennie. Rumah Taehyung.
"Jen," panggil Jimin lagi.
"Kalo Taehyung sakit beneran gimana?" Jennie khawatir, akhirnya menjawab Jimin yang entah sejak kapan sudah berada di belakangnya.
Brak.
"Menurut elo dia sakit?"
Dentuman keras pintu itu cukup memekakkan telinga meskipun mereka berada jauh darinya. Taehyung menjauhi pintu itu dengan ekspresi yang tak bisa dikatakan baik-baik saja.
"Ya, sakit pikirannya" jawab Jennie tak acuh.
Taehyung memang terlihat baik-baik saja dari segi fisik, namun otaknya tidak terlihat baik. Bukan, mungkin otaknya memang tak benar-benar baik seratus persen. Namun kondisi mental dan hatinyalah yang perlu dikhawatirkan. Taehyung nampak emosi, sangat.
"Tae," panggil Jennie.
"Kalian?" Taehyung menoleh, cukup menambah syok dikepalanya. Terlebih itu, Taehyung sedikit merasa lega melihat kedua sahabatnya.
*-*
Vomment juseyo

KAMU SEDANG MEMBACA
Brother [Jennie X BTS]
FanfictionSaudara laki-laki. Jennie punya banyak saudara laki-laki. Saudara tak harus sedarah bukan? Sahabat dekat yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri, seseorang dari salah satu orangtua yang sama pun juga merupakan saudara. Bahkan anak tetangga yang...