Aku meringis, dan membuka mataku saat mendengar suara gerbang yang dibuka, dan suara mobil. Aku menatap jam disekeliling tapi tidak ada. Aku beranjak bangun dari tidurku, dan berjalan kearah pintu, lalu menarik gagang pintunya. Tapi terkunci. Aku menghela nafas, dan menyenderkan bahuku pada pintu.
"Justin." Bisikku. Aku memejamkan mataku, perutku serasa diremas. Aku meringis, aku tahu, aku belum makan dari pagi.
Seketika aku maju menghindar dari pintu saat merasakan gagang pintu bergerak dan suara kunci terbuka. Detik itu pun pintu terbuka, menampakkan Justin yang menatap ku tajam. Aku langsung menunduk takut. Aku bisa merasakan suara kaki menjauh, aku mendongak kembali, dan menghela nafas.
Aku berjalan keluar, dan tak lupa untuk mengunci gudang itu. Aku mencari jam, dan akhirnya dapat.
Sekarang jam 2 siang. Astaga, aku berjalan kearah kamarku.
Aku ingin mandi.
***
Aku melihat televisi dengan bosan, makan ku sudah habis. Sekarang jam 3 sore, dan aku tidak melihat Justin keluar dari kamarnya. Aku menghela nafas, dan beranjak.
Membawa mangkuk bekas makanku ke dapur. Menyimpannya, dan mencucinya. Selesai itu aku kembali keruang tengah, mematikan televisi dan berjalan ke kamarku.
Seketika aku berhenti tepat di depan pintu kamar Justin, aku maju selangkah untuk lebih dekat. Aku memejamkan mataku lalu menghela nafas, dan mengangkat tanganku. Aku menatap tanganku, dan mengetuk dengan perlahan 3 kali.
"Justin?" Panggilku.
Hening.
Tidak ada jawaban sama sekali. Aku menghela nafas, dan mengetuk sekali lagi.
Tapi tetap sama.
Detik itu juga, aku perlahan mendorong gagang pintu kamar Justin dengan perlahan. Membuka sedikit dan memasukkan kepalaku setengah untuk mengintip.
Aku melihat Justin sedang duduk dilantai, bersender pada ranjang dan mukanya menunduk. Kedua tangannya memegang perutnya. Aku mengernyit, ada apa dengannya?
"Justin?" Bisikku.
Tanganku membuka pintu lebar, aku masuk dengan berjalan perlahan, dan menghampirinya. Aku berjongkok dihadapan Justin, melipat bibirku kedalam, dan tanganku terangkat lalu menepuk bahu Justin.
Justin mendongak menatapku. Tatapan nya tidak setajam biasanya, dia menatapku dan meringis perlahan. Aku bisa melihat tangannya meremas perutnya.
"Justin?" Aku setengah berdiri, dengan kaki yang ditekuk menjadi lutut bahan tumpuan tubuhku. Aku memegang kedua bahu Justin, "kau sakit?"
Justin menggeleng, dan detik itu juga Justin beranjak dengan cepat berlari kearah kamar mandi. Aku ikut beranjak dengan cepat, astaga ada apa dengannya?
Aku masuk ke kamar mandi dan melihat Justin memuntahkan isi perutnya di closet. Aku mengusap punggungnya dan memijat tengkuknya. Kekhawatiran ku mulai mejalar di hatiku.
Justin mematikan keran air, dan dia berbalik kearah ku. Aku mendongak untuk menatapnya,
"Justin, mukamu pucat sekali." Bisikku, aku memegang kedua pipi Justin dengan perlahan, suhu badannya baik baik saja.
"Perutku sakit." Bisik Justin.
Aku mengernyit, dan menarik kedua tanganku dari kedua pipi Justin lalu menarik Justin untuk keluar dari kamar mandi. Menarik kearah ranjang Justin.
"Tadi kau makan apa?" Aku menatap Justin yang meringis terus menerus.
"Erlin membeli ku makanan seafood."
"Dan kau memakannya?" Aku bertanya dengan panik.
Justin mengangguk.
Aku menatapnya tidak percaya, "kau, kau tahu kan kalau dirimu alergi dengan memakan seafood?" Ucapku.
"Ya, aku tahu. Tapi aku tidak enak jika menolak."
Aku menatapnya masih tidak percaya, segitu tidak ingin mengecewakan Erlin kah? Aku menghela nafas dan mendorong Justin untuk tiduran di ranjangnya.
Justin menurut.
"Aku panggilkan dokter ya?" Ucapku.
Justin menggeleng, "tidak usah."
"Tap-"
"Tidak usah ya tidak!"
Aku terdiam, menutup mulutku dengan rapat.
Hening.
Mataku melirik Justin yang menutup matanya, tapi alisnya masih bertautan menahan sakit. Tanganku perlahan terangkat ke rambut justin, dan mengusapnya dengan perlahan. Aku menahan nafas saat melihat tidak ada penolakan. Aku tersenyum, dan mengusapnya dengan lembut sesekali memijat pelipisnya.
Justin bergerak, merapatkan dirinya padaku dengan mata tertutup. Aku mengangkat kedua kakiku keatas ranjang dan setengah tidur.
"Istirahat ya, nanti saat kau bangun, aku siapkan obat alergimu." Bisikku.
Justin bergumam pendek, dan menyerongkan tubuhnya kearahku. Kedua tangannya terlipat di dadanya. Aku sedikit demi sedikit merapatkan dadaku kearah kepala Justin, dan memeluk kepala Justin dengan perlahan. Aku mengecup pucuk kepala Justin dan menunduk, menatap Justin yang mulai tertidur. Aku tersenyum.
"Aku mencintaimu." Bisikku.
***
Haloooooo
Vote comment yaa..
KAMU SEDANG MEMBACA
creído // Jelena
FanfictionRasa yang sangat amat menyakitkan terus terulang ulang. Wanita menahan sakit, akan kuat. Tapi tak akan selamanya wanita kuat untuk menghadapi itu.