creído; chapter 35. My fault

920 75 31
                                    

Selena pov

Tubuhku bergetar dalam pelukan Nina. Tidak ada yang bisa menenangkanku terkecuali Justin tersendiri. Mengapa seperti ini? Karna Justin lah yang membuatku seperti ini. Mengapa semua nya terjadi, dan harus menimpa Justin? Kekasihku? Lelaki yang aku cintai disini? Hatiku berdenyut saat melihat tubuh Justin yang tidak bisa di apa apakan, di sentuhpun aku tidak boleh. Alat alat sialan pun juga menempel sangatlah banyak di tubuh Justin.

Aku ingin menyentuh Justin, memegangi tangannya, bukan melihat Justin dari kaca dan menengoknya sesekali. Aku ingin seperti dulu, yang bisa memeluknya dengan erat, yang bisa meciuminya dengan balasan Justin. Aku ingin masuk kesana setiap detik, menit, jam tak akan pernah aku lewat kan detik itu. Tapi nyata tidak bisa, aku berontak, aku berteriak, tetap saja.

"Selena, Justin akan baik baik aja."

Suara Nina terdengar di telingaku, yang aku jawab dengan gelengan langsung dan juga tangisan sama sekali belum berhenti.

"Kau, yatuhan. Kau sedang hamil, kalau Justin bangun dan mendapatkan kau yang keadaannya seperti ini, dia bisa marah, Selena. Apalagi soal kandunganmu." Ucap Nina seraya melepas pelukan, menatap Selena dengan lekat.

"Ini sudah 3 hari, Justin belum melewati kritis. Aku ingin Justin, Nina. Kumohon." Lirihku, menatap Nina dengan penuh kesakitan.

Aku berdiri, menghapus air mataku dan berjalan kearah jendela kecil ruangan justin. Detik itu, aku bisa melihat lelaki yang aku cintai terbaring di ranjang. Aku terisak, berpikir kalau ini adalah salahku. Ini semua salahku.

"Nina, ini semua salahku." Aku memegangi kaca tersebut.

"Ini semua salahku, kalau aku menuruti perkataan Justin, aku tidak akan pernah melihat dia seperti ini. Aku harus nya menurutinya untuk naik di mobil pribadi, yatuhan. Ini semua salahku, Nina, ini salahku." Bisikku.

Hatiku berdenyut kembali.

Sangalah sakit.

Aku menunduk lalu mendongak kembali, menatap Justin.

"Aku merindukanmu, Sayang." Lirihku sangat kecil.

Menit kemudian hening, dan beberapa saat aku merasakan kehangatan di kedua bahuku. Aku berbalik, dan melihat Daryl yang tersenyum kepadaku. Dengan segera aku menghambur pelukan ke Daryl. Menangis sejadi jadinya dibahunya.

"Sel, kau harus kuat. Demi Justin, dan juga bayimu. Aku tahu, aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Aku juga merasakan, Sel. Kumohon, kau juga harus jaga kondisimu untuk bayimu." Bisik Daryl.

Detik itu pun, aku mengeratkan pelukan Daryl. Rasanya ingin mati, rasanya ingin tidak merasakan rasa sakit ini. Aku disini bukan sendiri tapi berdua dengan bayiku. Tetapi sama saja, ada yang kurang.

"Kau harus makan, tak apa sedikit, yang terpenting kau harus minum susu dan vitaminmu." Ucapnya seraya melepas pelukan.

Aku mengangguk perlahan.

Ya. Seharus nya aku tidak egois pada anakku.

***
8 days..

"Mom! Daryl! Dokter!"

Aku berteriak sekencang mungkin, seraya memencet pemanggilan dokter dengan tergesa gesa.

Aku baru saja mendengar Justin berguman tidak jelas. Aku dengar itu dan kepalanya bergerak tetapi berhenti kembali. Aku menangis dengan kencang, merasa bahagia karna ada perubahan Justin. Tanganku gatal. Aku ingin memeganginya, tetapi tidak bisa.

"Ada apa?" Aku melihat Dokter yang menatapku dengan panik.

Dengan isak tangisku, aku berucap,

"Aku mendengar suaranya, dan juga dia menggerakkan sedikit kepalanya walaupun hanya sebentar."

Dokter itu menatap Justin, dan dia menghampirinya. Tatapan Dokter tertuju padaku lalu menunjuk pintu keluar dengan dagunya.

"Dok, aku ingin disini." Lirihku.

Dokter menggeleng, "Tidak, kau harus keluar, nona. Kumohon."

Suster pun merangkulku, menuntun ke pintu. Dan dia tersenyum padaku sebelum aku keluar.

Aku menatap kedepan, yang melihat Mom Pattie dan Daryl. Melihatku dengan tatapan bertanya sekaligus khawatir. Aku tersenyum, dan menghambur kepelukan Mom Pattie. Memeluk nya dengan erat.

"Ada apa, Selena? Justin kenapa?" Mom Pattie mengeratkan pelukan.

"Justin baru saja menggerakkan kepala dan juga dia mengeluarkan suara." Ucapku dengan tangisan haru.

Aku melepas pelukan, menghapus air mataku dan menatap Mom Pattie dengan kebahagiaan yang aku punya. Mom Pattie tersenyum padaku, dan dia mengusap rambutku. Tatapanku tertuju pada Daryl yang tersenyum padaku dan bertepuk tangan kecil, aku tertawa.

Tatapanku melihat kembali kearah pintu. Aku memejamkan mataku, berterimakasih pada Tuhan karna keadaan Justin berubah pesat seperti ini. Aku tersenyum dengan sendirinya, hatiku mulai tidak berdenyut kembali.

Aku membuka mataku, saat melihat Dokter keluar. Aku mendekatinya,

"Bagaimana?" Tanyaku.

Dokter itu tersenyum, dan mengangguk, "Dia sudah melewati kritisnya."

Aku membuka mulutku, lalu menutupnya dan menangis bahagia. Dokter tersebut tersenyum padaku dengan lembut, dan dia mengusap bahuku sebelum dia pergi. Aku dengan segera menghapus air mataku dan berlari masuk kedalam ruangan. Melihat Justin yang sudah tidak ada lagi alat alat itu. Yatuhan, terimakasih.

Tanganku mengusap kepala Justin dengan hati hati dan lembut. Aku terisak, melihatnya seperti ini, melihatnya yang tidak sepucat dulu. Walaupun dia belum sadar, tetapi aku bisa memeganginya, aku bisa menciuminya bahkan memeluknya. Aku tersenyum kearah Justin dan mengangkat kepala ku lalu menurunkan untuk mengecup kening Justin beberapa detik lalu aku lepas tanpa menjauhkan wajahku darinya.

"Hai." Bisikku.

Aku tertawa, dan terus mengusap usap rambutnya.

"Aku mencintaimu. Cepatlah bangun, aku merindukan tatapanmu itu, suaramu, dan semua yang ada pada dirimu. Aku tidak suka kau terdiam seperti ini. Kumohon, aku sangat amat mencintaimu." Ucapku.

Tanganku terun mengusap pipi kanannya. Aku menundukkan kepalaku kembali, mencium kening, lalu kedua matanya, hidungnya, kedua pipinya, lalu bibirnya. Aku menghabur kepelukkannya, menyenderkan pipiku pada bahunya. Tanganku mengusap rahangnya lalu turun pada dadanya yang terhalang baju, aku memejamkan mataku, merasakan bahunya yang naik turun, dan juga tanganku yang merasakan jantungnya yang berdetak.

Aku menghela nafas dan terus mengusap dadanya.

***

vote comment yak jan lupa.

creído // JelenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang