Aku menatap orang yang berlalu lalang dengan sambil menatapku dengan menyelidiki. Aku menghela nafas, tidak kau tidak boleh menangis. Rasa takut dan sakit itu merayap diseluruh tubuhku. Aku menunduk. Mengapa seperti ini.
"Hai."
Kepalaku mendongak, dan tersenyum tipis.
"Kau baik baik saja?" Ucapnya. Aku mengangguk.
"Aku baik- baik saja, Daryl." Bisikku.
Daryl menggeleng dan tertawa kecil, "kau tidak, sel."
Aku mengehela nafas dan menunduk kembali. Kemudian aku ditarik berjalan, aku mendongak menatap punggung Daryl lalu ke tanganku yang berkaitan dengan jari tari Daryl.
"Daryl, mau kemana?" Ucapku.
Aku terus berjalan dengan kesusahan. Aku bisa melihat dari sisi mataku, semua orang melihatku.
Aku menghela nafas, dan mengikuti Daryl pergi.
Daryl berhenti, yang membuatku ikut berhenti. Menatap kedepan, yang ternyata adalah Justin dan Erlin. Aku menatap Justin yang ikut memandangku lalu membuangnya dengan cepat kearah Daryl.
"Sini, sel-"
"Mengapa kau mengajak jalang ini." Ucap Erlin. Tajam. Menusuk.
Aku menatapnya dan menunduk dengan langsung.
"Erlin!" Bentak Daryl.
"Kau yang jalang!" Bentak Daryl sekali lagi.
Aku menatap Daryl dengan tidak percaya lalu menatap Justin yang menatap tajam pada Daryl.
"Brengsek." Umpat Justin dan dia beranjak dari duduknya untuk mendekat kearah Daryl.
"Jangan! Please, stop." Bisikku.
Aku menatap mereka berdua yang bergantian. Menatapnya dengan nanar.
"Erlin benar. Aku tidak bisa disini. Aku tidak cocok bergabung dengan kalian." Bisikku dengan suara bergetar.
"Tap-"
"Semua orang tahu foto itu. Semua orang tahu aku bersetubuh dengan Ray. Ya, aku bersetubuh dengannya, Daryl, aku bersetubuh dengan nya!" Teriakku.
Air mataku mengalir dengan perlahan.
Menatap Daryl yang menatapku dengan terperengah.
"Kau berbohong." Tekan Daryl.
"Percaya apa yang ada." Bisikku.
Aku menghela nafas menahan sesak didada.
"Jalang ya tetap jalang dan pada akhirnya dia mengaku." Ucap Erlin.
Aku menatap Erlin lalu tersenyum.
Mataku menatap Justin yang menatapku dengan tajam. Dia membuang muka dengan memperlihatkan rahang yang mengeras kepadaku.
Tanganku menghapus air mataku yang mengalir di pipiku lalu berlari menjauh dari mereka. Keluar dari koridor itu dan gedung ini.
Aku menghapus air mataku yang lagi lagi keluar. Bahu ku berguncang ditengah berlari ini. Rasa sakit di hatiku semakin menjadi. Aku terisak dengan keras. Tidak perduli semua orang melihatku dengan keadaan seperti.
Kaki ku sudah sampai didepan gerbang gedung ini dan langsung men stop taxi. Masuk dan pergi dari gedung itu.
Aku menatap kearah luar jendela yang senja mulai terlihat. Aku menggigit bibirku, menatap isak tangisku. Aku mengalihkan pandangan menahan pahaku. Tanganku mengangkat kearah dadaku, memukulnya dengan kencang dan terisak secara bersamaan.
Beberapa menit kemudian, aku sampai dirumah Justin yang sekarang aku tinggal. Tidak. Aku akan pergi dari rumah ini. Iya. Aku harus. Orang yang jahil mengeditku dengan foto itu memang pintar dan aku nyerah sama semuanya.
Aku turun dari taxi setelah membayarnya dan berlari masuk ke rumah ini. Aku menggigit bibirku. Menatap bingkai foto besar keluarga Justin. Aku tersenyum miris dan langsung naik ke atas untuk ke kamarku.
Satu tanganku menghapus air mata yang baru saja jatuh. Aku melipat bibirku, dan duduk di ranjangku. Menunduk, meremas pinggiran ranjang dengan erat.
Aku menghela nafas dan berjalan kearah koperku yang disimpan di pojokan. Menariknya dan membawanya kearah lemari. Membuka lemari itu dan memasukan bajuku semuanya. Dan peralatanku. Semuanya.
Boneka.
Aku menatap kearah ranjangku dan mendapatkan boneka pemberian Justin disitu. Aku tersenyum miris dan berjalan untuk mengambilnya. Aku mengambilnya dan memeluk boneka itu dengan erat menghirupkan nya dengan penuh.
"Kita pergi." Bisikku kepada boneka beruangku.
Aku menarik gagang koper dan menyeretnya dibelakangku. Aku berjalan keluar dengan perlahan. Meghayati setiap lekuk lekuk rumah ini.
Detik itu juga, aku tersentak. Menatap kedepan yang memperlihatkan Justin yang berjalan kencang tetapi melambat karna melihatku. Dia melihat ku dengan terus dan menatap bonekaku lalu koper.
Aku menghela nafas, dan berjalan mendekat kearahnya yang diam terpaku. Kaki ku berhenti saat sudah berhadapan dengan nya.
Hening.
Aku tidak tahu ingin berbicara apa.
"Aku minta maaf." Ucapku.
Justin menatap bonekaku terus menerus.
"Kau ingin kemana?" Ucap Justin. Tapi sama, dingin.
Aku tertawa kecil, "sejauh mungkin. Kau tidak ingin melihatku kan?" Bisikku.
Justin menatapku dengan langsung. Hanya menatap, dia tidak mengucapkan sesuatu.
"Untuk kebaikan kau dan aku." Ucapku.
Aku tersenyum walaupun air mata turun kembali.
"Kebaikan kau yang sudah muak melihatku, dan kebaikan ku yang sudah muak dengan semuanya." Bisikku.
"Aku mencintaimu." Ucapku. Dan terisak kecil.
"Bilang pada mom, sealasan kau yang bisa membuat mom percaya. Aku takut kalo aku yang bilang." Ucapku.
Tanganku yang tadinya memegang koper, mengusap pipiku, menghapus air mata.
"Kau ingin lari dari masalah eh?"
Aku mengernyit menatap Justin.
"Apa?"
"Sel, kalau kau tidak ingin dipandang jelek pada semua orang. Kenapa kau melakukan itu, hah?" Ucap Justin dingin.
"Ak- aku tidak melakukan itu!" Teriakku.
"Aku tidak percaya dan sama sekali tidak percaya." Ucap Justin dingin.
"Justin!" Teriakku. Aku terisak menatap Justin.
"Kau ingin bukti?" Ucapku.
"Kalau kau ingin bukti," aku memejamkan mataku dan membukannya kembali.
"Setubuhi aku!"
***
Yayyyy
KAMU SEDANG MEMBACA
creído // Jelena
FanficRasa yang sangat amat menyakitkan terus terulang ulang. Wanita menahan sakit, akan kuat. Tapi tak akan selamanya wanita kuat untuk menghadapi itu.