Aku mengambil tas berisi kue dan mengecup pipi mom."Aku berangkat dulu, mom." Ucap ku lalu berjalan kearah pintu.
"Hati hati, selena." Teriak mom.
Aku hanya mengangguk walaupun tidak terlihat mom dan aku menutup pintu rumah, lalu berdiri menunggu taxi pesenanku. Aku menatap rumah didepanku yang kosong lalu tersenyum miris.
Itu rumah Justin dulu.
Saat mengakhiri hubungan kita, dia pergi. Tanpa meninggalkan suara kalo dia bakal pindah, walaupun masih satu sekolah. Tapi tetap saja itu menyesakkan.
"Nona."
Aku terkesiap, dan menatap taxi yang sudah berada di depanku, aku melihat supirnya yang menatapku dengan alis bertautan. Aku tersenyum malu dan masuk kedalam taxi.
Aku menghela nafas.
"Uh selena, kau memalukan." Batinku.
***
Aku mengasih uang ke supir taxi dan mengucapkan terimakasih, lalu berjalan masuk ke dalam sekolah. Aku menatap orang orang yang berlalu lalang di sisiku atau didepanku. Sangatlah banyak. Sampai sampai aku pusing melihat itu dan mereka menatapku dengan tatapan jijik. Aku menunduk. Aku sudah biasa dilihat seperti itu. Aku menghela nafas.
Mataku melihat gerombolan anak laki laki maupun perempuan. Aku menghembuskan nafas dengan perlahan lalu berjalan kearah mereka. Aku hanya ingin mengasih kue ini ke justin tidak lebih.
"Permisi." Aku berucap lalu berusaha masuk dari gerombolan itu dan melihat apa yang sebenarnya mereka gerombolin.
Tidak biasanya sebanyak ini.
Aku terpaku melihat pemandangan didepanku.
Aku menatap Justin dan sahabatku satu satunya Erlin. Mereka saling memeluk dan semua orang berseru dan bertepuk tangan.
Apa mereka baru saja jadian?
Hatiku serasa diremas. Sangat sakit.
Tuhan terlalu jahat padaku. Mengapa aku selalu disiksa didunia ini.
Aku memberanikan diri maju dan berdiri di tengah tengah yang memang mereka berdiri di tengah tengah.
Erlin terkejut melihatku. Aku tersenyum setulus mungkin. Aku mengusap bahu Erlin.
"Selamat, kau sekarang mempunyai kekasih." Bisikku.
Mata Erlin terlihat bersalah. Tapi aku tetap tersenyum dan memeluknya dengan erat. Lalu melepasnya.
"Traktir untukku boleh mungkin?" Gurauku dan mataku mengedip satu padanya.
Erlin terkekeh malu. Aku menghela nafas lalu menunduk dan mendongak kembali menatap Justin yang menatapku sebentar lalu membuang muka.
"Momku menyuruhku memberi kue ini padamu." Bisik ku.
Tanganku memberi tas berisi kue kepada Justin. Justin menerimanya.
"Bilang pada mommu terimakasih." Ucap Justin datar.
"Ya." Bisikku.
Lalu aku menghela nafas lagi. Dadaku sesak, aku menahan tangisan yang bentar lagi akan keluar dari kedua mataku.
"Ya sudah aku, aku ke kelas duluan, Erlin." Aku berucap tanpa menatap mereka dan langsung berlari.
Berlari keluar dari gerombolan itu. Air mataku turun tanpa aku bisa tahan lagi. Isak tangisku juga keluar. Aku berlari ke taman belakang sekolah.
Aku duduk dibawah pohon. Menekuk kakiku dan memeluknya. Bahuku bergetar.
Seharusnya aku bahagia melihat sahabatku bahagia. Dan seharusnya aku juga bahagia pada Justin karna dia sangat bahagia memiliki Erlin.
"Apa salahku?" Bisikku.
Aku membuka mulutku, hidungku mampet, aku tidak bisa bernafas.
"Apa salahku, sampai sampai Justin dingin padaku?"
"Aku bukan jalang, aku bukan jalang." Isakku.
"Mengapa semua orang melihatku jijik?"
"Tuhan, aku ingin bahagia. Bukan seperti ini. Aku tidak mau semuanya. Aku ingin kebahagiaanku dulu kembali. Justinku kembali." Bisikku.
Aku menunduk, tangisanku tidak bisa di tahan.
"Mereka semua membenciku seolah olah aku pernah berbuat jahat pada mereka." Isakku.
"Tidak, aku tidak membencimu."
Aku tersentak, dan berbalik melihat laki laki yang menatapku dengan iba. Aku menghapus air mataku.
"Kau," aku memicingkan mataku sebentar. "Kau teman Justin kan?"
Laki laki itu mengangguk dan ikut duduk disampingku. Aku menggeser sedikit memberi jarak.
"Aku Daryl." Ucapnya.
Aku mengangguk. Lalu mengusap sisa air mataku.
Daryl menatapku, "jangan menangis."
"Aku tidak menangis." Ucapku.
Daryl terkekeh, dan dia tersenyum padaku. Aku membuang mukaku kearah yang lain.
"Aku tahu perasaanmu." Ucap Daryl.
Aku mendelik padanya,
"Jangan sok tahu." Ucapku.
Daryl menatapku lalu mencubit pipiku yang lengket.
"Kau menyebalkan tapi lucu." Ucap Daryl.
Daryl berdiri dan dia mengusap bokongnya lalu mengacak rambutku.
"Tidak boleh menangis, oke?" Ucapnya lalu pergi dari hadapanku.
Aku menghela nafas.
Daryl.
***
Jangan lupa vote commentnya yaa hehrhehhehehheheehehhehe
KAMU SEDANG MEMBACA
creído // Jelena
FanficRasa yang sangat amat menyakitkan terus terulang ulang. Wanita menahan sakit, akan kuat. Tapi tak akan selamanya wanita kuat untuk menghadapi itu.