"Kamu ini sebenarnya mau kuliah nggak, sih? Nilai kamu anjlok, guru-guru banyak yang bilang kalau kamu sering ketiduran dan nggak mengerjakan tugas. Ingat, kamu itu sudah kelas dua belas. Dua belas!"
Aku membenarkan posisi dudukku sambil terus terdiam. Bu Rosa, wali kelasku, tampak tak sabar menunggu jawaban yang keluar dari mulutku. Aku menghela napas. "Saya kecapekan, Bu."
"Capek?" Bu Rosa mengulangi perkataanku. "Kamu itu memangnya ngapain aja? Kalau mau hitung-hitungan, saya jauh lebih capek dari kamu yang cuma tinggal duduk di kelas."
Aku melirik jam tanganku sambil harap-harap cemas. Dalam hati aku terus bertanya-tanya kapan Bu Rosa akan mengakhiri pembicaraan ini. Dari balik jendela, kulihat murid-murid lain mulai meninggalkan halaman sekolah dengan wajah sumringah.
"Keira."
Aku menoleh ke arah wali kelasku itu ketika beliau memanggil namaku dengan lembut.
"Kamu itu sejujurnya adalah anak yang pintar. Ingat, Ibu ingin kamu menjadi seperti dulu lagi. Rajin dan selalu menjadi bintang kelas." Bu Rosa lantas mengambil sebuah amplop dari dalam lacinya. "Berikan ini pada Ibumu. Sekarang kamu boleh pulang."
***
"Telat lagi," gumam seorang perempuan ketika aku sampai ke rumah makan itu. Perempuan yang umurnya beberapa tahun lebih tua dariku itu segera melemparkan sebuah celemek dan topi kepadaku.
Dengan sigap, kukenakan benda-benda yang diberikannya itu. Seperti sebelum-sebelumnya, aku kembali menjelma menjadi seorang pelayan. Sudah hampir dua bulan pekerjaan ini kujalani. Sebagai konsekuensinya, aku kehilangan banyak waktu istirahat dan belajarku.
Hari ini, layaknya hari-hari lalu, Rumah Makan "Kejora" begitu ramai, padahal jam makan siang sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Para pelayan sibuk mondar-mandir sejak tadi. Sebagai pelayan baru, aku masih kaku dengan pekerjaan ini. Beberapa kali aku hendak menghampiri pelanggan yang melambaikan tangan, tapi pelayan lain sudah keburu mendahuluiku.
Aku mengedarkan pandangan. Aha! Tepat ketika kepalaku menoleh ke kanan, pandanganku beradu dengan seorang pelanggan yang memberiku isyarat agar aku segera datang. Dan aku pun langsung menjawab isyaratnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku pada laki-laki di hadapanku. Karena di meja lelaki itu sudah ada piring berisi nasi goreng yang masih utuh, kupikir ia memanggilku untuk menambah pesanan. Namun, dugaanku salah.
"Lepasin!" ujar lelaki itu sambil sesekali melongokkan kepalanya dengan cemas seperti sedang bersembunyi dari seseorang.
"Apanya yang dilepas?" tanyaku heran.
"Topimu," ia menunjuk ke arah topi yang kukenakan. "Dan celemek itu," ia ganti menunjuk celemekku.
Aku tak mengindahkan perintahnya. "Maaf, tapi ini seragam. Saya tidak bisa melepasnya."
Tanpa basa-basi, laki-laki itu segera meraih topiku dan meletakkannya ke atas meja.
"Apa yang Anda lakukan?" Aku hendak mengambil kembali topiku, tapi ia justru menyembunyikannya di balik punggungnya.
"Sekarang, kamu lepasian celemekmu itu. Kamu nggak mau kan aku sendiri yang melepasnya?"
Orang ini nggak waras, pikirku. Namun, karena tidak mau tangan usilnya itu menyentuhku, aku pun terpaksa mengikuti perintahnya.
"Bagus," gumamnya. "Aduh, seragam itu!" Ketika lelaki itu melihat seragam pelayan yang tersembunyi di balik celemekku, ia segera melepaskan jaketnya. "Pakai ini!"
Entah kenapa kali ini aku langsung menurut.
"Sekarang, lepas kucirmu!"
"Hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...