Untuk yang kesekian kalinya aku menengok jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku menggigit bibir bawahku seraya menahan cairan bening nan hangat agar tak jatuh dari pelupuk mata. Kupicingkan mata begitu menangkap sesosok laki-laki yang sangat kukenal tengah berjalan ke arahku.
Ketika ia sudah dekat, aku bangkit dari bangku besi panjang. Kuulas senyum padanya yang sepertinya justru terlihat getir.
"Udah mau ke boarding room?" tanyaku.
Andre yang baru saja menyelesaikan urusan check-in mengangguk pelan. "Orangtua gue mau ikut masuk juga. Lo mau ikut?"
Aku menimbang sebentar. Dulu, sering kulihat para pengantar menyelipkan uang kepada para petugas agar diizinkan masuk. Kurasa itu bukan hal yang baik.
"Nggak usah, gue pulang aja."
Kami terdiam selama beberapa saat. Kurasakan bahuku tiba-tiba berguncang tanpa sanggup kucegah. Bulir air mata yang sejak tadi kutahan perlahan mulai menyeruak keluar.
"Kalau udah sampe, lo langsung hubungi gue ya," pintaku di sela isak tangis.
"Pasti, Ra."
"Gue nggak mau tahu sesibuk apapun lo di sana, lo harus sempetin kasih kabar ke gue minimal sekali seminggu."
Andre mengangguk pasti.
"Dan ini," aku mengaduk tasku, mencari sebuah benda kecil yang selalu kubawa ke mana pun aku pergi. "Peluit ini buat lo. Kalau lo ngerasa kesepian, tiup aja peluitnya. Hari-hari pertama mungkin berat, tapi lo jangan nyerah."
Andre memandang peluit di telapak tanganku dengan tatapan yang tak dapat kujelaskan. Bukannya mengambilnya, ia justru berjongkok dan berkutat pada sepatunya. Tak lama, ia berdiri dengan seutas tali sepatu di tangannya.
"Kenapa talinya lo lepas?"
Andre tak menjawab pertanyaanku. Diambilnya peluit di tanganku, lalu dengan cepat, dimasukkannya tali sepatunya ke dalam lubang di ujung peluit. Kini peluit dan tali itu menjelma menjadi sebuah kalung.
Tanpa berkata-kata, Andre mengalungkan kalung buatannya itu ke leherku.
Aku menunduk, menatap kalung peluit itu dengan heran. Kemudian beralih ke sepatu Andre. "Nanti sepatu lo nggak lepas?"
"Gue masih punya banyak di tas, nanti gue pasang pas di pesawat biar nggak bosen." Ia terkekeh pelan. "Peluit ini punya lo, gue nggak bisa nerima. Kalau lo kangen gue, tiup aja peluit itu. Oke?"
Kuanggukkan kepalaku patuh.
"Sebelum pergi, gue juga mau ngomong sesuatu ke lo," ucap Andre serius.
"Apa?"
Cowok itu menghela napas panjang. "Gue mau minta maaf karena selama ini gue udah pura-pura nggak peka sama perasaan lo."
Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk mencerna kalimat Andre. "Maksudnya?"
Andre menggaruk tengkuknya, menyembunyikan rasa kikuknya. "Gue tahu lo suka sama gue, tapi maaf gue nggak bisa anggap lo lebih dari sahabat. Makanya gue milih pura-pura nggak tahu. Tapi, jauh sebelum gue sadar, ada orang lain yang ngasih tahu ke gue tentang perasaan lo itu."
Keningku berkerut samar. Suasana yang tadinya penuh haru berangsur menjadi penuh tanya. "Siapa?"
"Dona."
Napasku terasa tercekat begitu mendengar namanya.
"Mungkin itu juga alasan dibalik sifatnya yang sering manja dan barangkali terlihat menyebalkan di mata lo. Dia sengaja bikin gue nggak suka sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...