🎶Kalau kalian tipe orang yg suka baca sambil dengerin lagu, mulmednya wajib diplay 🎶
***
Setelah memastikan Gavin sudah pulang, aku segera memesan ojek. Syukurlah, tidak ada halangan sampai aku tiba di rumah sakit.
Di ruangan Ayah, kulihat pria itu sudah ada di atas kursi roda dibantu oleh seorang perawat. Ia tersenyum melihat kedatanganku.
Kenapa wajah Ayah terlihat lebih pucat?
"Ayah mau jalan-jalan keluar?" Aku mengambil alih kursi roda Ayah dari perawat itu.
"Boleh, kita ke taman, ya."
Perlahan, aku mendorong kursi rodanya keluar, melewati lorong-lorong rumah sakit hingga sampailah kami di tempat yang kami tuju.
Aku menepikan kursi roda Ayah di dekat kolam ikan.
"Om Jo nggak ke sini, Yah?" Pertanyaan itu terlontar dengan sendirinya. Nyatanya, aku tidak peduli pada keberadaan pria itu.
Ayah menggeleng. "Dia sedang di luar kota."
Kutelusuri tubuh Ayah dari atas kepala hingga ujung kaki. Ukuran tubuhnya tidak terlalu berbeda dengan ketika ia masih sehat. Harus kuakui ia tampak sedikit lebih kurus, tapi secara keseluruhan tubuhnya tidak terlihat seperti orang sakit. Hanya wajah pucatnya yang seolah memberi tanda bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
Pria itu tampak serius memperhatikan anak-anak kecil yang bermain di taman. Melihat mereka, aku jadi teringat suatu pengalaman yang sudah lama sekali. Aku jadi merindukan seseorang.
Sudut bibir Ayah terangkat. "Kelak, kamu akan punya rumah sendiri, keluarga sendiri, dan kehidupan sendiri yang seluruhnya bergantung padamu. Tugas Ayah di dunia hampir selesai." Ayah menoleh ke belakang, memandangku dengan mata sayunya. "Ayah bangga memiliki putri sekuat dan secantik dirimu."
Kenapa kalimat Ayah terdengar seperti kalimat perpisahan?
"Keira juga bangga punya Ayah." Dari belakang, aku melingkarkan tanganku di lehernya. Lalu kukecup pipinya.
Tangan Ayah mengusap kepalaku. "Kamu harus hidup dengan bahagia, Keira. Hidupkan mimpi-mimpimu."
"Pasti," kataku mantap.
"Keira, bukannya itu Gavin?"
Pertanyaan Ayah membuatku cepat-cepat mengedarkan pandang. Mataku tertubruk pada cowok yang tengah berdiri membelakangi kami. Jadi ia sedang berpura-pura tidak melihatku?
"Dia menyukaimu?" tanya Ayah lagi.
Aku mendengkus kesal. Kenapa dia harus muncul di saat seperti ini? Mengganggu saja! Berarti benar ia mengikutiku.
"Biarin aja Yah, Keira nggak suka."
Ayah tertawa pelan. "Ayah memang nggak ahli soal cinta. Tapi kalau kamu memang suka padanya, bisakah kamu menahan rasa itu sampai ada ikatan sah di antara kalian?"
"Ayah," aku merajuk mendengar kalimatnya yang terdengar sedikit menggoda itu. "Belum tentu juga Keira besok nikah sama dia," aku mencebikkan bibirku.
Ayah tertawa lagi. "Sepertinya dia anak yang baik."
Sebelum aku sempat berkomentar, tiba-tiba Ayah memegang dadanya sambil meringis.
"Ayah!" Kepanikan menjalar ke seluruh tubuhku ketika kulihat ia kesulitan bernapas. "Dokter! Suster!" teriakku cemas.
Aku masih di sana, menggenggam tangan Ayah. Tidak mungkin aku meninggalkannya seorang diri. Hanya teriakan yang dapat kuandalkan agar bantuan segera tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Jugendliteratur⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...