Sesuai rencana awal, sepulang sekolah aku langsung menemani Andre ke sebuah pusat perbelanjaan. Setelah berkeliling sambil menikmati es krim, kami menghentikan langkah kami di depan sebuah gerai pakaian.
Sementara Andre sibuk mencari pakaian yang cocok untuk ibunya, mataku terpaku pada sebuah terusan cantik berwarna cokelat muda. Aku membalik label harga yang terpasang di belakangnya, lalu mendesah. Entah kapan aku bisa mengumpulkan uang untuk membelinya, padahal pakaian itu pasti akan sangat cocok untuk Ibu.
"Keira."
Tiba-tiba saja Andre sudah berada di sebelahku. Ia mengikuti pandanganku ke arah pakaian yang kuincar itu. Andre menyentuh pakaian itu, lalu membolak-baliknya seolah memastikan bahwa pakaian itu memang bagus. Senyum terukir di wajahnya.
"Ra, selera lo bagus juga," pujinya. "Menurut lo nyokap gue cocok gak pake pakaian ini?"
Aku sedikit terkejut mendengarnya. Beberapa detik lalu aku masih membayangkan pakaian itu terpasang di tubuh Ibu, tapi sekarang Andre malah menanyakan pertanyaan itu.
"Mmmm...," jariku menelusuri pakaian itu. "Bagus," ujarku kemudian.
"Oke, kalau menurut lo bagus, gue ambil yang ini aja." Andre memanggil seorang pelayan toko, lalu menyelesaikan pembayaran di kasir.
Selagi menunggu Andre, ponselku berbunyi. Telepon masuk dari Gavin. "Halo?"
"Lo di mana sih?" tanyanya dari ujung telepon.
"Gue kan udah bilang kalau nggak jadi."
"Gue kan nggak bilang kalau gue setuju," timpal Gavin. "Pokoknya gue tunggu ya. Lo harus dateng."
Aku hendak membuka suara, tapi sambungan telepon keburu dimatikan. Aku merutuki kebodohanku. Seharusnya aku tidak mengiyakan ajakannya kemarin. Namun, siapa yang tahu Andre akan mengajakku pergi?
***
Kakiku terdiam di tempat, sedangkan Andre sudah berjalan beberapa langkah di depanku. Menyadari diriku yang masih bergeming, cowok itu mundur ke belakang untuk menghampiriku lagi.
"Lo kenapa?"
"Gue kan nggak diundang. Nggak papa nih kalau gue tiba-tiba dateng?"
Andre terkikik melihat tampang polosku ditambah pertanyaanku yang mungkin terdengar konyol itu. "Nggak papa kali. Nyokap kan udah lama nggak lihat lo. Ini bakal jadi hadiah juga buat dia." Andre memiringkan kepalanya ke arahku. "Yuk?"
Sekali lagi aku menatap restoran di hadapanku, lalu beralih menatap pakaian yang kukenakan. Tadi sepulang dari mall, Andre mengantarku pulang agar bisa berganti baju. Kemudian ia menjemputku dan membawaku ke sini. Menurutku, aku sudah cukup cantik, tapi kenapa aku merasa tidak percaya diri untuk masuk ke sana? Dalam hati, aku menyesali basa-basiku saat di kantin tadi.
Langit sudah gelap. Warna-warni lampu yang dipasang di restoran itu terlihat indah, membuat suasana semakin temaram. Mataku sibuk memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sana. Mereka terlihat cantik dan tampan dengan pakaian pesta masing-masing. Aku membayangkan bagaimana cantiknya Tante Ira sekarang.
"Ra, itu Mama. Yuk ke sana."
Aku mengikuti Andre yang segera berjalan mendekati seorang wanita yang sudah tak asing lagi bagiku. Wanita itu tampak anggun dalam balutan dress berwarna hitam. Ketika Andre menyapanya, wanita itu terlihat antusias.
"Happy birthday, Mama." Andre memeluk Tante Ira dengan erat. Ia melepaskan pelukannya, lalu menyodorkan sebuah kado padanya. "Ini buat Mama."
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...