Ekspektasiku tentang acara ini berubah dengan kehadiran Gavin. Tadinya aku mengira dapat menikmati setiap detiknya, tetapi kini yang ada di benakku hanyalah kapan acara ini akan berakhir. Berulangkali aku mengalihkan pandangan ketika Gavin mencuri pandang ke arahku. Ah, menyebalkan sekali!
Andre di mana ya? Sejak ujian berakhir aku belum melihatnya. Entah bagaimana reaksinya jika ia melihat Gavin ada di sini.
Beberapa menit berlalu tanpa sanggup kuserap dengan jelas materi yang dibicarakan para mahasiswa itu. Tak lama suasana menjadi riuh. Aku yang sedang tak berkonsentrasi tiba-tiba merasakan tanganku diangkat. Aku menoleh ke samping dan melihat Bunga yang sedang mengangkat tanganku sambil cekikikan. "Apaan sih?" tanyaku.
"Ya, kamu!"
Seorang mahasiswa yang tak lain adalah Gavin tengah menunjukku. Aku masih belum mengerti apa yang terjadi. Kulirik ke kanan dan ke kiri. Seperti yang kuduga, semua mata terarah padaku.
Aku menyenggol lengan Bunga. "Bunga, ini ngapain sih?"
Bunga tampak menahan tawa, "udah maju aja sono!"
"Ayo, jangan malu-malu!" Gavin berjalan mendekati tempat dudukku. Ia bahkan mengulurkan tangannya padaku.
Aku menatap uluran tangannya dengan alis yang terangkat sebelah. Tanpa meraih tangannya, aku berdiri dan maju ke depan. Sempat kulihat ekspresi bingung di wajahnya ketika aku berjalan melewatinya.
Namun, kemudian ia berkata dengan mic-nya, "wah, kayaknya anak ini semangat sekali, ya!"
Sesampainya di depan, aku merasa mati kutu. Dalam hati aku memaki Bunga yang sudah membuatku berada dalam situasi ini. Seorang mahasiswa yang tak kuketahui namanya menyodorkan mic kepadaku. Aku menerimanya dengan ragu.
"Oke, perkenalan dulu. Sebutkan nama dan kelasnya, ya," kata Gavin yang baru saja tiba di depan.
"Nama gue Keira, kelas dua belas ipa 1," jawabku berusaha terlihat tenang meski hatiku bergemuruh kesal.
"Keira, coba lo ceritain apa rencana lo setelah ini," perintah Gavin.
"Gue mau pulang," jawabku santai. Anehnya, orang-orang dalam aula justru tertawa, termasuk Gavin. Memangnya jawabanku salah?
Gavin berusaha meredakan tawa audience dengan menempelkan telunjuknya di depan mulut. Setelah audience cukup tenang, ia berkata padaku, "maksudnya, rencana lo setelah lulus. Misalnya lo mau masuk ke univ mana jurusan apa."
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal. Oh, jadi itu maksudnya. Kenapa aku bisa sebodoh ini? "Mmm..." Aku memeras otak. Kenapa menjawab pertanyaan sesimpel ini terasa lebih sulit dari soal ujian tadi? "Gue belum tahu," jawabku akhirnya seraya mengangkat bahu.
Gavin manggut-manggut. Ia menepuk pundakku dengan pandangan tetap ke arah audience, "it's okay. Banyak anak SMA yang masih bingung nentuin masa depannya." Lalu ia menatapku lagi. "Kalau lo masuk ke univ dan jurusan yang sama kayak gue, lo mau nggak?"
"Vin, jangan godain anak SMA ngapa," sahut seorang mahasiswa.
Mendengar kalimat itu, ruangan kembali dipenuhi gelak tawa.
Aku melirik Gavin yang sepertinya juga salah tingkah. Aku sendiri juga bingung harus berekspresi bagaimana. Akhirnya aku hanya tersenyum sambil melemparkan pandangan sebal pada Bunga yang sedang terbahak melihatku.
Gavin kembali menenangkan audience. "Tenang-tenang," ujarnya. "Jadi gini, gue bukannya lagi godain Keira. Tapi gue cuma mencoba memberi alternatif aja. Barangkali Keira mau..."
Sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, aku segera memotong, "nggak."
Jawabanku yang singkat dan mantap itu membuat Gavin langsung menoleh ke arahku. "Apanya yang nggak?" tanyanya.
"Gue nggak mau satu jurusan sama lo," jelasku.
Entah apa yang salah dengan jawabanku, tapi mendadak suasana menjadi hening. Barangkali orang-orang kaget mendengar penolakanku itu.
Kening Gavin berkerut samar. "Kenapa nggak mau?"
"Karena gue nggak mau ketemu lo."
Berbeda dari sebelumnya, kali ini jawabanku kembali mengundang tawa.
Gavin melirikku sambil berbisik, "Awas, lo." Lalu ia tertawa sejenak sebelum berkata pada audience, "Keira ini lucu juga ya orangnya. Tepuk tangan dulu dong buat Keira." Gavin memandu teman-temanku untuk bertepuk tangan bersamanya. "Mungkin Keira takut kalau dia ketemu gue terus, lama-lama dia jatuh cinta sama gue."
Aku melongo mendengar kata-katanya, sementara orang-orang asyik terbahak. Jadi dia sedang berusaha membalasku? Aku ingin berkata lagi, tetapi seorang rekan Gavin mendahuluiku.
"Vin, lo udah keluar konteks. Udahan aja," ujarnya setengah berbisik.
Gavin mengangguk padanya. "Oke, mungkin cukup sampai di sini." Lelaki itu menghadapku seraya mengedipkan sebelah mata, "silakan kembali ke tempat duduk."
***
Siapa nih yang gemes sama Gavin?
Kalau mau ketemu lagi sama cowok satu ini, yuk buka chapter berikutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Fiksi Remaja⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...