"Ra, lo beneran mau turun sendiri?"
Sembari melepaskan seat belt, aku mengangguk.
"Lo nggak takut kesepian di dalem? Lo kan nggak kenal sama mereka."
Desahan pelan keluar dari mulutku. "Rino," panggilku memberi penekanan. "Gue udah gede. Lo nggak perlu khawatir. Udah, ya gue turun dulu."
Dari raut wajahnya, cowok itu masih tampak meragukan kalimatku. "Pokoknya kalau lo bosen, langsung telpon gue aja biar gue jemput."
"Iya, iya, lo nggak perlu ngulang kalimat itu lagi," ketusku.
Sepanjang perjalanan tadi, entah sudah berapa kali Rino mengatakan hal itu. Sebenarnya aku juga memiliki ketakutan yang sama dengannya. Bagaimanapun di dalam sana akan ada banyak orang yang tak kukenal. Aku kembali meyakinkan diriku sendiri. Ini untuk Dona.
Awalnya Rino sedikit heran mengapa aku repot-repot datang ke reuni sekolah kakakku. Aku pun hanya mengatakan padanya bahwa aku datang untuk mengambil barang yang dikuburkan Dona di hari kelulusan SMAnya dulu. Aku sama sekali tak memberi tahunya tentang kemungkinan Gavin juga ada di sana.
"O, iya, Ra, kalau bisa jangan lama-lama. Andre mungkin bentar lagi udah nyempe Bogor." Rino mengangkat tangan kirinya, melihat jam yang melingkar di sana. "Kasihan kan kalau dia dateng, tapi lo belum di rumah."
Aku mengangguk paham. Andre sudah jauh-jauh hari mengatakan bahwa ia akan menemuiku di Bogor hari ini. Secara kebetulan, waktunya bersamaan dengan acara reuni ini. Aku memang tidak mengatakan pada sahabatku itu bahwa aku akan menghadiri reuni sekolah Dona. Alasannya tak lain adalah Gavin. Aku tak mau Andre berpikir macam-macam tentangku dan Gavin.
Saat turun dari mobil, aku celingukan. Villa di hadapanku ini cukup besar. Sudah banyak orang berkumpul di depan teras. Aku menelan ludah. Diam-diam menyesali kedatanganku ke sana. Siapa yang harus kusapa?
Ketika mobil Rino meninggalkan halaman, kuberanikan diri untuk mendekat ke villa. Beberapa pasang mata langsung tertuju padaku. Mungkin mereka merasa asing dengan wajahku. Kulihat seorang perempuan berjalan dengan bersemangat mendekatiku. Rasanya wajahnya familiar, tapi entah di mana aku pernah melihatnya.
"Keira, ya?"
"Iya," jawabku sedikit kikuk. Aku mengeratkan genggamanku pada tas tanganku.
"Kamu inget aku?"
Gawat! Aku sama sekali tidak mengingatnya.
Perempuan itu terkekeh. "Udah nggak usah malu kalau emang nggak inget. Aku Reva. Kita dulu pernah ketemu di resepsi temenku sama Gavin. Inget kan?"
"Oh, Kak Reva," aku tertawa pelan sembari menepuk jidat. "Kok Kak Reva masih inget aku sih?"
Reva menepuk pundakku. "Sebenernya aku juga udah lupa. Tapi belakangan inget lagi. Kamu kan satu-satunya orang yang dapet undangan dua kali. Empat bulan sebelum acara sama dua minggu sebelum acara."
Perempuan itu tertawa geli, sedangkan aku hanya melongo. Pantas saja aku merasa ada yang aneh. Tidak biasanya undangan diberikan empat bulan sebelum acara.
"Kenapa cuma aku yang dikasih undangan empat bulan sebelumnya?"
"Itu idenya Gavin."
Hanya mendengar namanya saja jantungku langsung berdetak di luar kendaliku.
"Gavin yang minta ke panitia buat ngirim undangan itu ke kamu. Katanya kamu orang sibuk, jadi harus dikasih tahu jauh-jauh hari. Dan emang bener sih, sekarang kan kamu udah famous sebagai foundernya Teach.me. Aku sempet lihat Instagrammu. Followersmu banyak juga." Reva tertawa dan aku pun ikut tertawa. "Karna salah satu panitia ada yang tinggal di Bogor, jadi dia langsung kirim ke alamat rumahmu. Gavin yang ngasih tahu alamatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Roman pour Adolescents⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...