Seberkas sinar matahari masuk melalui celah jendela. Aku mengucek mataku seraya menguap. Kulihat jam beker yang telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Hmm... Setelah sekian lama akhirnya aku bisa membolos juga.
Namun, kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku tidak bisa dikatakan membolos karena punggungku pun sakit sekali. Membayangkan bagaimana caranya aku mandi dengan luka yang ada di sana membuatku mengurungkan niat untuk membasuh tubuhku.
Aku berbaring sambil memandang langit-langit kamar. Beberapa detik aku terdiam sebelum kemudian memukul kepalaku. "Dasar bodoh," makiku.
Ingatan saat aku memeluk Gavin dan mengucapkan permohonan bodoh itu bermain di benakku. Bagaimana bisa dengan mudahnya aku memeluk Gavin? Huh, cowok itu telah mencuri pelukan pertamaku yang seharusnya untuk suamiku kelak.
Bahkan gara-gara merasa berdosa, sebelum tidur, aku menyempatkan diri untuk sholat taubat.
Secara refleks aku mendudukkan badanku begitu teringat sesuatu. Bukankah semalam aku belum sempat memberi tahu Gavin di mana aku tinggal? Bagaimana dia bisa tahu rumahku?
Susah payah aku memaksa otakku untuk mengingat apakah aku benar-benar pernah mengenal Gavin. Namun, aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Aku mengacak-acak rambutku dengan gemas. Siapa sih sebenarnya Gavin? Kakak kelasku? Bisa jadi.
Tidak lama aku memikirkan tentang Gavin karena mataku malah tertuju pada seragamku yang robek. Bagaimana pun aku harus segera membawanya ke penjahit mengingat aku hanya punya dua seragam.
Setelah mencuci seragam itu dengan mesin cuci dan mengeringkannya menggunakan hair dryer, aku segera membawanya ke rumah Bu Sari. Aku cukup bersyukur karena hari ini adalah jadwal terapi Ibu sehingga aku tidak perlu bertemu dengannya sekarang. Aku masih belum tahu bagaimana menjelaskan padanya mengapa aku pulang larut semalam.
Bu Sari membuka jasa jahit menjahit di rumahnya. Ketika aku sampai di sana, kulihat beliau tengah menjahit seorang diri.
"Bu Sari," sapaku.
Wanita berkacamata itu mengangkat wajahnya. Ia tersenyum ramah menampakkan gigi-giginya. "Keira? Kamu nggak sekolah, Nak?"
Aku menggeleng. "Aku lagi sakit, Bu." Kemudian aku menyerahkan plastik berisi seragamku. "Bu, boleh nggak kalau seragamku didahuluin? Soalnya aku cuma punya satu seragam di rumah."
Bu Sari mengeluarkan seragamku dari plastik. Ia memerhatikan bagian seragamku yang robek. "Kalau cuma ini, hari ini pun bisa jadi. Nanti sore kamu sudah bisa mengambilnya."
Mataku berbinar. "Secepet itu, Bu? Makasih, Bu."
Saat aku asyik mengobrol dengan Bu Sari, tiba-tiba suara wanita di belakangku memutus obrolan kami. Aku menoleh dan kulihat Bu Wati berjalan mendekati kami. Aku tersenyum ke arahnya dan ia membalas senyumanku dengan ekspresi yang aneh.
"Bu Sari, tolong ini baju saya didahulukan ya, Bu. Kalau bisa sore ini harus jadi." Bu Wati menyodorkan tas yang sepertinya berisi baju yang ia maksud.
"Waduh, maaf ya Bu, tapi saya mau jahit seragamnya Keira dulu," ujar Bu Sari dengan senyumannya.
Raut kecewa terpampang di wajah Bu Wati. Kulihat tangannya tiba-tiba meraih seragamku yang diletakkan Bu Sari di mejanya. Mulutnya terbuka begitu melihat bagian robeknya.
"Astaga, Keira, ini seragam kamu kenapa?" tanyanya.
"Robek," jawabku pendek.
Bu Wati menggelengkan kepalanya. "Kok bisa sih robek begini?" Ia menunjukkan bagian robek itu pada Bu Sari. "Lihat deh Bu, ini sih kayaknya ada yang nyobek."
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...