Brave (5)

1.3K 170 170
                                    

⚠ Warning 17+ ⚠
Mohon maaf kalau ada adegan yang kurang berkenan. Jadilah pembaca yang bijak
***

Jalanan mulai lengang ketika aku berjalan menyusurinya. Kupindahkan tas ranselku ke depan dada untuk menahan dinginnya angin malam yang menusuk. Seandainya saja aku membawa jaket pasti tak akan sedingin ini, harapku dalam hati.

Aku membuka ponselku dan mencari aplikasi ojek online. Sialnya, sulit sekali mendapatkan armada yang mau menerima pesananku di jam yang sudah selarut ini. Ketika hendak mencari lagi, ponselku berbunyi. Andre.

"Halo, Ndre? Iya maaf gue nggak lihat panggilan dari lo. Gue ketiduran. Eh, iya gue ketiduran di rumah temen. Ini udah mau pulang kok lagi nyari ojek. Apa? Udah nggak usah gue bisa pulang sendiri. Bener, Ndre. Oh, oke ya udah deh kalau lo beneran mau jemput."

Sekitar dua puluh menit aku menunggu di sebuah mini market hingga akhirnya Andre tiba. Aku segera menghampirinya dan naik ke motornya.

"Lo ke mana aja sih, Ra?" tanya Andre sembari melajukan motornya.

"Rumah temen," jawabku.

"Iya, temen siapa?" tanyanya lagi.

Aduh, bagaimana ini? Haruskah aku mengatakan yang sejujurnya? Seumur-umur aku belum pernah berbohong padanya. Tapi kalau dia tahu aku pergi ke rumah Gavin, kira-kira bagaimana reaksinya?

Aku menelan ludah. "Mmm... Gue dari rumah Gavin."

Rem berdecit begitu aku mengatakannya.

"Hah? Ngapain aja lo di sana sampe jam segini?"

"Gue bantuin dia jaga ponakannya. Habis kakaknya lagi ke luar kota."

Andre menggelengkan kepalanya seolah tak habis pikir. "Itu mah akal-akalan dia aja. Si Gavin pasti sengaja nyuruh kakaknya biar nggak pulang dulu."

"Tapi, kayaknya nggak mungkin, Ndre," sanggahku. "Nggak ada ibu yang mau anaknya dijadiin bahan permainan kayak gitu."

Andre berdehem. "Okelah masuk akal juga sih. Tapi nggak tahu kenapa gue ngerasa sikap lo berubah setiap kali lo sama Gavin. Lo tu jadi terkesan lugu, gampang aja gitu kemakan rayuannya dia. Padahal gue tahu banget lo tu bukan tipe orang yang gampang percaya sama orang lain. Jangan-jangan,  lo suka lagi sama dia."

Aku segera menepuk pundak Andre dengan cukup keras hingga membuatnya mengaduh. "Sembarangan aja lo ngomong," kataku. Aku sukanya sama kamu, lanjutku dalam hati.

Sebelum Andre mengatakan hal yang nggak masuk akal lagi, aku segera mengalihkan topik. "Nyokap lo tau lo keluar?"

"Nggak. Gue perginya diem-diem."

"Hah? Kalau ketauan gimana? Lo tuh sembarangan aja." Aku kembali menepuk pundaknya. Namun, kali ini ia tertawa.

Ah, Tuhan benar-benar baik mau mengirimkan Andre untukku.

"Lo kok perhatian banget sama gue, Ndre?" tanyaku.

"Habis bentar lagi kan gue mau ke Amrik. Nggak papa lah itung-itung berbuat baik menjelang perpisahan."

Aku terkesiap. "Jadi lo udah mutusin mau ke Amrik? Kok secepet itu? Bukannya tadi di sekolah aja lo masih nggak mau?"

"Setelah gue pikir-pikir kayaknya bagus juga kalau ke Amrik. Lo seneng kan?"

Dalam hati aku menyangkal, tapi yang kuucapkan bertentangan dengan kata hatiku. "Iya, gue seneng."

Setelah itu hening. Badan dan pikiranku terlalu lelah untuk memulai pembicaraan lagi. Barangkali Andre juga merasakan hal yang sama karena ia terus terdiam.

10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang