"Kei...."
"Keira?" ulang lelaki itu.
Mulutku masih menganga menahan rasa terkejutku. "An ... Andre?"
Setelah meneguk sepertiga minuman kalengku, kutatap Andre yang sedang mengunyah keripiknya. Sama seperti Gavin, dia tidak banyak berubah. Hanya kulitnya terlihat lebih putih dan bersih, sepertinya musim di Amerika cocok untuknya. Penampilannya juga masih sama seperti dulu. Dilihat dari kemeja dan celana jeans yang dikenakannya, sepertinya ia bukan pegawai kantoran. Aku menertawai pikiranku itu. Lagipula jika ia adalah pegawai kantoran maka seharusnya ia sudah berada di gedung kantor sekarang, bukannya duduk santai di kursi depan minimarket bersamaku.
"Beberapa tahun terakhir ini lo ke mana sih, Ndre? Gue udah desperate banget. Gue pikir nggak akan ketemu lo lagi."
Andre menyelesaikan proses mengunyahnya sebelum menjawab pertanyaanku. "Sorry ya, Ra. Dua tahun terakhir ini, hidup gue rasanya cukup berat. Apalagi semenjak bokap gue meninggal."
Meninggal? Aku menutup mulutku dengan sebelah tangan. Berbagai kenangan masa kecilku dengan pria yang murah senyum itu berkelebat di kepalaku.
"Andre, I'm so sorry for your loss," aku menatapnya prihatin. Senyuman kecil melengkung di wajahku, seolah menguatkannya.
Andre balas tersenyum. "Thanks, Ra." Ia menepuk-nepuk tangannya, membersihkan sisa-sisa bumbu yang menempel di sana. "Waktu itu gue bingung banget. Gue masih kuliah. Kebutuhan buat kuliah gue banyak, belum lagi kebutuhan hidup gue sama Nyokap. Gaji part time gue nggak seberapa. Akhirnya gue sama Nyokap harus kerja banting tulang. Nggak mudah hidup sebagai orang asing dengan pendapatan yang pas-pasan di negeri orang. Beruntung, gue sama Nyokap berhasil melaluinya. Tahun lalu setelah lulus, gue dapet pekerjaan bagus di sana. Tapi karena Nyokap pengen banget pulang akhirnya kami memutuskan untuk balik ke Jakarta dengan gaji yang udah gue kumpulin."
Mataku terasa panas karena menahan air mata yang nyaris tumpah. Hatiku terenyuh mendengar kisahnya. Sepengetahuanku, sejak kecil Andre sudah terbiasa hidup enak. Masa-masa itu pasti sangat berat untuknya. Namun, berkat kejadian itu, sahabat kecilku ini kini telah menjelma menjadi pria tangguh.
"Maaf, Ra. Waktu itu gue nggak ada pikiran buat nyantai-nyantai. Gue sampe lupa ngehubungin lo."
Kugelengkan kepalaku sebagai tanda bahwa aku tidak keberatan dengan sikapnya itu. "Gue juga tahu rasanya di posisi lo. Lo hebat," pujiku dengan senyum merekah lebar. "Terus sekarang lo kerja di mana?"
"Saat ini gue masih jadi content writer di salah satu website terkenal di Indonesia. Jam kerjanya fleksibel. Sebenernya, gue udah ngejalani pekerjaan ini sejak gue masih di Amerika."
Aku bertepuk tangan, lalu mengangkat kedua jempolku. "Keren! Lo emang cocok banget di dunia tulis menulis."
Andre tertawa pelan, sedikit tersipu dengan pujianku. "Tapi nggak tahu kenapa gue pengen kerja kantoran. Makanya habis ini gue mau ngelamar di perusahaan properti yang nggak jauh dari sini."
Perusahaan properti yang dimaksud Andre kurasa adalah perusahaan yang sama dengan tempat Gavin bekerja. Pantas saja, aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan di sini. Kalau Andre ke sana maka kemungkinan ia akan bertemu Gavin. Kira-kira bagaimana reaksi mereka saat bertemu?
"Ra?"
Panggilan Andre membuatku menoleh cepat ke arahnya. "Eh? Lo mau ngelamar kerja pake pakaian santai kayak gitu?" Dengan daguku, kutunjuk bajunya itu. Lalu kembali meneguk minumanku.
"Enggaklah, Ra, gue bawa baju ganti," jelasnya yang segera kubalas dengan anggukan. "Oh iya, aplikasi lo sama Rino gimana?" Ia memasukkan sebuah keripik ke mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...