Finally (End)

1.8K 130 205
                                    

"Gavin?"

Cowok yang tengah berdiri itu nyata. Senyumnya, matanya, dan rambutnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sedangkan mulutnya masih mengeluarkan tawa. 

Pipiku pasti sudah merona sekarang. Entah seperti apa wajahku tadi sampai ia tak bisa menghentikan tawanya. Akhirnya, aku pun ikut tertawa, meski kedengarannya sumbang.  

Setelah tawanya terhenti, ia membuka mulut, "Pasti tadi lo mikir gitu kan?" Ia menyandarkan tubuhnya di pohon dekat ayunan.

Aku mengerutkan kening. Kusibakkan rambutku ke belakang telinga untuk mengurangi rasa canggungku. "Mikir gimana?" tanyaku dengan nada suara pelan.

"Ya itu tadi. Lo lagi mikir kira-kira gue dateng enggak."

Tawa kecil menderai dari mulutku. Sikap Gavin tidak berubah sama sekali. Tingkat kepercayaan dirinya juga tidak berkurang.

Pertanyaannya tadi tidak kutanggapi. Sebagai gantinya, aku menanyakan hal lain.

"Ka ... kamu sehat?"

Tanpa sadar, aku mulai menggunakan kata 'kamu'. Mungkin karena efek terlalu canggung. Selain itu, sejujurnya aku merasa di usia Gavin yang sudah menginjak 27 tahun, akan cukup aneh jika aku memanggilnya dengan sebutan 'lo'.

Gavin menautkan kedua alisnya. Ia tampaknya juga tercengang dengan pemilihan kataku. Namun, ia hanya mengulas senyum.

"Aku sehat. Kamu sendiri gimana?"

Aku tersenyum kecil, "Sehat."

Rasa canggung kembali menyelimuti kami. Beberapa kali aku menyibakkan poniku seraya menunduk atau mengedarkan pandang.

Kulihat kedua tangan Gavin menyentuh tali ayunan. "Duduk sini lagi aja! Biar aku ayunin."

Aku menggeleng, "Nggak usah. Ayunannya cuma buat satu orang. Aku nggak enak kalau kamu berdiri."

Gavin terkekeh. "Ya ampun Keikei ... eh maaf maksudnya Keira. Aku ini laki-laki. Nggak papa kali berdiri. Udah kamu duduk aja."

"Kalau kamu lupa, aku ini perempuan. Jiwaku halus, aku nggak tega lihat kamu berdiri, sementara aku duduk di situ."

Sambil tertawa, cowok itu berjalan maju mendekati pagar. Didudukkannya badannya di atas rerumputan. Kemudian ia menoleh ke arahku.

"Kalau gitu, duduk sini aja! Kamu nggak keberatan kan duduk di atas rumput?"

Aku menggeleng, lalu ikut duduk di sebelahnya. Di hadapan kami, melalui celah pagar yang rendah itu, terlihat hamparan kebun teh yang indah di bawah sana.

"Kata Om Jo, dia sempet ketemu kamu," kataku memulai percakapan. 

"Oh, iya. Kita ketemu di kantorku."

Kuembuskan napas kasar. "Om Jo udah cerita semuanya tentang masa lalu kamu sama Kak Dona." Aku memusatkan perhatianku padanya dan cowok itu ikut menoleh ke arahku. "Kenapa dulu kamu nggak bilang aja sih sama ayahmu atau laporin Om Jo ke polisi?"

Gavin meluruskan kakinya, lalu menumpukan punggungnya pada kedua tangannya. "Waktu itu aku punya banyak masalah di rumah. Aku nggak mau orang rumah tahu soal ini."

"Waktu aku nanya ke kamu, kenapa kamu juga nggak jujur aja? Kamu masih takut sama Om Jo?"

Gavin menoleh sekilas, sudut bibirnya terangkat. "Aku bukannya takut sama Om Jo. Tapi, Om Jo pernah bilang kalau kamu kesayangannya dia. Jadi, kupikir kalian pasti deket. Aku nggak mau kamu kecewa sama orang yang kamu sayang. Dona pernah bilang kalau kamu kecewa banget sama ayahmu. Kalau aku bilang jujur, mungkin kamu bakal berhenti percaya sama orang lain karena kamu ngerasa semua orang yang kamu sayang udah ngecewain kamu. Biarpun Om Jo udah berbuat salah ke Dona, tapi aku percaya dia beneran sayang ke kamu."

10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang