The Last Reason (Extra part)

1K 96 197
                                    

Sebelumnya, aku minta maaf karna udh ngeunpublish part ini. Jd krn bbrp bulan blkgn ini aku nggak buka wattpad, aku merasa lbh baik aku unpub aja part ini supaya lbh aman. Maaf ya udh bikin kalian menunggu. Selamat membaca
*****

If by chance I knew where you were,
I would've become a star in the winter sky and shined on you.
Even on days when you laugh and sadnights that are damp with tears,
I'll be by your side always, whenever that may be.

~~ Snow Flower by Park Hyo Shin~~

***

"Sayang?"

Tubuhku masih terasa lemah ketika kudengar suara dari arah pintu. Kusunggingkan senyum kecil pada sosok yang masih terpaku di sana. Masih mengenakan pakaian kantor yang sama dengan tadi pagi, wajahnya terlihat lelah. Mendekat ke ranjang, ia menarik sebuah kursi dan mendudukkan tubuhnya di sana.

Digenggamnya tanganku erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membelai rambutku pelan. "Maaf, Sayang, aku nggak bisa nemenin kamu. Jakarta macet total. Persalinannya lancar kan? Kamu baik-baik aja kan?"

Ia membantuku duduk.

Setelah berhasil menyandarkan punggungku ke headboard, baru kujawab semua pertanyaannya. "Nggak papa, tadi aku ditemenin Ibu kok. Semuanya lancar. Anak kita laki-laki!" kataku bersemangat.

Matanya berbinar ketika kusebutkan jenis kelamin anak kami. Ia mencium keningku. "Kamu emang hebat! Jadi makin cinta sama kamu." Diciumnya keningku untuk kedua kalinya. "O, ya, aku mau lihat anak kita. Dia di mana?"

Sebelum sempat menjawab, dari balik pintu, Ibu datang sambil membopong bayi kecil di tangannya.

Dengan senyuman bangga seorang nenek, Ibu menyerahkan bayi itu padaku.

"Makasih, Bu. O, ya Bu, karna udah ada yang nemenin aku, Ibu makan dulu aja, ya. Dari tadi kan Ibu belum makan."

Ibu membelai kepala bayi itu sebentar. "Eyang tinggal dulu, ya!"

Setelah Ibu berlalu, kucium kening anakku dengan lembut dan hati-hati. Melihat wajahnya yang menggemaskan, rasanya aku ingin menangis haru. Akhirnya, malaikat kecilku bisa hadir di antara keluarga kecil kami.

Melihat anak kami, suamiku langsung ikut mencium keningnya. Tangannya membelai pipinya lembut, membuat bayi itu tersenyum malu-malu. Dia tahu ayahnya telah tiba.

"Sayang, kamu berani gendong?" tanyaku.

Ia diam sejenak, berpikir. Lalu mengangguk.

Dengan hati-hati, kuserahkan bayi mungil itu padanya. Meski awalnya kikuk, kulihat bayi kami tampak nyaman dalam gendongan ayahnya.

"Gara Mahenra! Jagoan Ayah!" Ia terus mengajak anak kami bicara.

"Gara Mahenra?" tanyaku bingung. Kami memang belum menentukan siapa nama anak itu.

"Iya! Singkatan dari Gavin dan Keira." Masih dalam gendongannya, ia mendekatkan bayi itu padaku. "Gara suka kan sama nama yang Ayah kasih?" tanyanya yang disambut senyuman dari si bayi. "Aduh, gantengnya anak Ayah, mirip banget sama Ayah."

Aku ikut tersenyum, lalu menyentuh pipi Gara lembut. Melihat interaksi antara suamiku dan Gara, aku tertawa kecil. Lengkap sudah kebahagiaan keluarga kami. Gavin, Keira, dan kini ditambah Gara. Kuharap petualangan kami akan semakin mengasyikkan.

Tak pernah kulihat wajah Gavin sebahagia ini. Raut wajahnya yang sekarang sangat berbanding terbalik dengan kejadian dua tahun lalu ketika aku mengerjainya saat reuni sekolahnya.

10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang