Princess (Part 4)

1.6K 220 222
                                    

Kamar Ibu ternyata kosong. Piring berisi makanan yang kusiapkan sejak pagi juga sudah ludes.

Tadi pagi ‒sesuai saran Bu Sari‒ aku mulai mengunci pintu rumah yang sama artinya dengan mengurung Ibu. Sebelum melakukannya, terlebih dulu aku meminta persetujuannya. Wanita itu setuju. Ia bahkan terlihat frustrasi setiap kali mengingat kejadian saat ia mengamuk.

"Ya, lebih baik kamu kunci saja pintunya. Ibu malu. Sudah tiga kali Ibu seperti ini di hadapan tetangga," ujar Ibu ketika kuutarakan rencanaku itu. Sambil memejamkan matanya, tangannya sibuk memijit pelipis. "Kenapa kepalaku rasanya sakit sekali?"

Hatiku berdesir mendengar keluhannya. Aku bisa merasakan penderitaan Ibu dan di saat yang bersamaan aku merasa diriku tak berguna. Dengan pendapatanku yang tak seberapa, hanya obat biasa yang dapat kuberikan padanya. Ya, setidaknya cukup untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya.

Aku membereskan piring itu. Kasihan Ibu. Ia harus makan siang dengan nasi dan lauk yang sudah dingin. Padahal, sebelumnya, Ibu selalu membeli makanan di warung untuk makan siangnya. Namun, membiarkan Ibu berjalan keluar mungkin sedikit berbahaya sekarang. Aku tak bisa membayangkan jika tiba-tiba emosinya berubah dan ia mengamuk lagi.

"Ibu!" panggilku seraya menelusuri setiap sudut rumah.

Samar-samar kudengar suara tangis dari dalam sebuah kamar. Ketika kubuka pintunya, kulihat Ibu tengah terisak di lantai. "Ibu," aku mendekatinya dan memeluknya. "Kenapa Ibu nangis?" Dengan lengan jaketku, kuusap air matanya.

"Ternyata baru seratus hari Dona pergi, tapi kenapa Ibu merasa sudah bertahun-tahun?" bisiknya.

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Ibu," aku meraih kedua tangannya dan menciumnya. "Kakak sudah bahagia di sana. Ibu juga harus bahagia sekarang."

Tiba-tiba saja Ibu melepaskan tangannya dari genggamanku dengan kasar. Ia menatapku tajam. "Kamu..." Suaranya meninggi. "Kalau saja saat itu kamu nggak milih pergi sama temen-temenmu itu pasti Dona masih hidup!"

"Kenapa? Kenapa kamu melakukan itu pada kakakmu sendiri?" Ibu mulai memukulku bertubi-tubi sambil menangis, sedangkan aku bergeming. Kubiarkan tubuhku menjadi pelampiasan kesedihannya. Tak lama, Ibu ambruk juga.

Karena tak mampu membawanya ke kamarnya, akhirnya aku menidurkan Ibu di kamar itu. Kamar yang tak lain adalah milik Dona semasa hidup. Setelah mencium keningnya, aku beranjak pergi. Namun, baru selangkah, kurasakan tanganku digenggam. Aku menoleh dan mendapati Ibu sudah membuka matanya lagi.

"Kemarilah," perintahnya.

Aku menurut dan membiarkannya memelukku.

"Maafkan Ibu, Keira. Aku memang bukan Ibu yang baik."

Setelah ia melepaskan pelukannya, tanpa menanggapi kalimatnya, aku bertanya, "Ibu pasti lapar. Mau kuambilkan makan?"

Ibu menggeleng, "Ibu hanya ingin tidur. Kepala Ibu sakit."

Sebelum keluar dari kamar itu, kulihat sebuah pigura kecil tergeletak di lantai. Kenapa bisa ada di sini? Aku memungutnya, lalu membawanya keluar.

Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengalihkan perhatianku dari foto yang terpasang di pigura itu. Foto yang sama dengan yang terselip di buku Andre. Orang yang ada di foto itu seperti malaikat. Sangat cantik dan berhati lembut. Tak heran jika di mana pun ia berada, ia selalu dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Dialah Dona, kakak perempuan yang tiga tahun lebih tua dariku sekaligus cinta pertama Andre.

 Dialah Dona, kakak perempuan yang tiga tahun lebih tua dariku sekaligus cinta pertama Andre

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang