Here We Are

1.2K 146 176
                                    

Flashback off
***

Ayah??

Ayah sakit??

Menyaksikan pria yang telah mewariskan darahnya padaku tengah terbaring lemah di ranjang membuat hatiku pedih. Rasa rindu yang selama ini kusimpan rapat perlahan menyeruak. Ingin rasanya aku berlari ke arahnya dan berhambur memeluknya. Namun, aku masih belum sanggup bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Luka yang ia torehkan pun masih membekas.

Sebelum Ayah maupun Om Jo menyadari kehadiranku, kuputuskan untuk segera pergi. Aku melangkah mundur dengan pikiran yang masih kacau.

Prang!!

Suara piring menjamah lantai itu berhasil menjernihkan pikiranku. Aku ikut berjongkok bersama seorang perawat yang kini sibuk membersihkan kekacauan yang kubuat.

"Maaf, aku nggak sengaja." Tanpa memandang ke arah perawat di hadapanku, tanganku sudah asyik memungut pecahan-pecahan piring yang berserakan.

"Nggak masalah, sudah biar saya saja yang membereskan," sahut perawat itu.

Aku tak memedulikan kata-katanya dan tetap berkutat dengan pekerjaanku itu. Namun, saat kuraih pecahan piring yang entah untuk keberapa kalinya, kudengar suara langkah kaki dari dalam ruangan Ayah yang mendekat.

Cepat-cepat kuletakkan kembali pecahan itu. "Maaf, aku harus pergi." Aku bangkit, lalu dengan tergesa bahkan sedikit berlari aku meninggalkan tempat itu.

Lagi-lagi aku tak bisa menyinkronkan mata, pikiran, dan kakiku. Kurasakan tubuhku menabrak seseorang di depanku. Aku sedikit berteriak karena terkejut, begitu pula dengan orang yang kutabrak. Kami berdua terjatuh. Kudengar beberapa orang tengah menertawai kami.

"Keira?"

Aku mengangkat wajahku dan bernapas lega. Untung saja orang yang kutabrak adalah Bunga. Cewek itu sudah berdiri lebih dulu. Ia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

"Lo kenapa? Muka lo kok pucet? Kayak habis lihat setan."

Aku hanya bergumam tak jelas. Tak mungkin juga aku mengatakan bahwa aku sedang menghindari Ayah. Itu hanya akan membuat Bunga semakin bingung. Maklum, aku tak pernah bercerita apapun tentang keluargaku padanya. Ia bahkan tak tahu kalau orangtuaku sudah bercerai.

Sebagai jawaban, aku pun menggeleng. "Nggak papa. Kita pulang aja, yuk."

Aku menarik tangan Bunga hingga ke parkiran. Bunga yang sepertinya masih menyimpan tanda tanya pun hanya menurut.

"Ra, gue lupa bilang kalau Andre udah sadar," ujar Bunga sambil mengendarai motornya.

Di jok belakang, aku tersenyum senang. "Beneran? Alhamdulillah. Gue jadi nggak sabar ketemu dia."

Perlahan senyumku pudar begitu menyadari bahwa aku pasti akan kesulitan menjenguk Andre mengingat hubunganku dengan Tante Ira.

Bunga seolah dapat membaca pikiranku karena ia segera membuka mulut. "Tenang aja, besok kita jenguknya bareng-bareng sekelas. Jadi nggak mungkin Tante Ira marah sama lo."

"Lo tahu aja gue tadi mikirin itu."

Bunga tertawa. "Iyalah, gue kan lebih hebat dari cenayang."

Selesai memikirkan Andre, pikiranku kembali melayang pada Ayah. Sejak kapan ia sakit? Ayah sakit apa? Apa ia tidak makan teratur? Apa saja yang ia lakukan selama aku tinggal bersama Ibu sampai ia jatuh sakit?

***

Langit sudah mulai gelap ketika aku tiba di rumah. Saat aku membuka pintu, tiba-tiba saja kulihat Ibu sudah berdiri di sampingku. Aku sedikit terlonjak kaget.

10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang