Outrageous

1.4K 142 245
                                    

Suara musik yang mengalun dari headset menemaniku malam itu. Sesekali aku menatap ke jendela di mana ranting-ranting pohon tampak mengetuknya. Hanya perasaanku saja atau malam ini memang terasa lebih indah?

Pikiranku tak bisa fokus pada lembaran soal latihan ujian di hadapanku. Sebaliknya, aku malah terngiang-ngiang pada surat cinta Gavin. Bukan. Surat cinta itu bukan untukku, tapi untuk Bu Wati. Gavin sendiri yang menyebut surat aneh itu sebagai surat cinta. Semuanya murni ide Gavin.

"Lo serius mau nulis surat itu?" tanyaku ketika kami sampai di rumah Gavin.

"Emang menurut lo gue lagi ngapain?" ia balik bertanya seraya melanjutkan pekerjaannya itu. "Lagian gue juga terlibat di sini. Jadi gue harus ikut tanggung jawab."

Usai menuliskan surat itu, Gavin menyodorkan kertas yang telah ia masukkan ke amplop itu padaku. "Nih."

Aku menerima surat itu. "Kalau Bu Wati baper gimana?" celetukku.

"Hmm, Bu Wati punya anak cewek nggak? Kalau iya, kasih tahu Bu Wati, yang baper anaknya aja, jangan dia."

Kata-kata Gavin cukup membuat telingaku panas. Entah dari mana datangnya perasaan itu. Yang jelas aku tidak menyukai kalimatnya itu. Apalagi Bu Wati memang memiliki anak perempuan yang sebaya denganku. Namanya Tiara, cewek pendiam kelas sebelah yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ibunya. Kalau Tiara sekompor ibunya maka dapat dipastikan bahwa seluruh murid di sekolah akan tahu tentang keadaan keluargaku. Tapi, apa Gavin benar-benar ingin mendekatinya?

"Keikei, nggak perlu cemburu. Gue cuma bercanda kok," seru Gavin seakan bisa membaca pikiranku.

Aku tak mengindahkannya karena sibuk menyelipkan surat Gavin ke dalam kardus roti. Siap diantar untuk Bu Wati.

Sebelum menyerahkan roti beserta surat cinta itu pada Bu Wati, diam-diam aku memfoto surat cinta Gavin.

Rencanaku berhasil. Malamnya, setelah menerima rotiku, Bu Wati datang ke rumah untuk meminta maaf. Ya, terkadang memang harus begitu. Api harus dipadamkan dengan air, begitu pula dengan keburukan, harus dipadamkan dengan kebaikan. Aku percaya seburuk apapun sikap Bu Wati, ia pasti masih memiliki hati nurani yang bisa kusentuh.

Aku membaringkan tubuhku di kasur. Lalu mencari foto surat Gavin yang kusimpan di ponsel. Beberapa kali aku tersenyum.

Salam kenal Bu Wati,

Saya Gavin, om-om tajir, pacarnya Keira. Sebenarnya patah hati saya, Bu, waktu Ibu bilang saya om-om. Memangnya wajah saya setua itu ya, Bu? Tadinya saya mau kirimin foto saya, tapi nggak jadi, takutnya Ibu malah jatuh cinta. Makasih ya, Bu, udah bilang saya tajir dan anggap saya jadi pacarnya Keira. Semoga jadi betulan deh hehe. Mohon doa restunya ya, Bu, tetangga Ibu yang satu ini susah banget ditaklukkin. Terakhir, saya juga mau bilang terimakasih karena Ibu udah jadi tetangga yang baik buat Keira dan ibunya. Ibunya Keira memang sensitif, Bu. Semoga pukulan beliau kemarin nggak bikin Ibu pegel-pegel. Kalau pegel bilang aja deh ke saya. Nanti saya kirimin nomor telepon tukang pijet terkenal, tapi Ibu bayar sendiri ya. Silakan dinikmati juga, Bu, rotinya. Maaf kalau cuma roti murahan, maklum saya masih mahasiswa yang butuh uang.

Salam hangat,
Calon pacar tetangga Ibu 💋

Saat masih bersama Gavin, aku tak sempat membaca surat itu. Dan ketika aku membacanya sepulang dari rumah cowok itu, tanganku terasa gatal ingin mengganti kalimat terakhir dalam suratnya itu. Namun, kalau aku menggantinya, sama saja aku membohongi Gavin maupun Bu Wati. Aku tidak ingin melakukannya. Aku tidak suka berbohong, apalagi untuk hal sekecil itu. Jadi biarlah surat itu seperti apa adanya.

Gavin lucu ya, batinku tanpa sadar. Aku segera memukul kepalaku begitu menyadari keanehan pada pikiranku itu. Bagaimana pun Gavin adalah orang yang patut dihindari dan dicurigai. Dari mana ia berasal? Apa tujuannya masuk dalam hidupku? Semua itu masih menjadi teka-teki. Dan selama teka-teki itu belum terselesaikan, aku tidak boleh terpesona padanya.

10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang