"Kok lo bengong, sih?" Andre mengibaskan tangannya di depan wajahku.
Aku segera tersadar dari lamunanku. "Siapa yang bengong?" tanyaku balik setengah marah.
Andre hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu. Dari dulu ia selalu begitu. Selalu mengalah padaku. Pernah suatu ketika kami bertengkar. Kala itu umur kami masih delapan tahun. Namanya saja anak kecil, hal yang kami ributkan pun juga sepele.
Saat itu ada tetangga baru yang tinggal di kompleks rumah kami. Aku dan Andre berdebat tentang nama si tetangga baru. Aku bersikeras bahwa wanita itu bernama Yuli, sedangkan Andre ngotot mengatakan bahwa namanya Julia. Tidak ada yang mau mengalah di antara kami. Bahkan karena hal itu mendadak kami saling adu pukul. Kejadian pukul memukul itu baru berhenti setelah ibunya Andre melerai kami. Perkelahian itu sukses membuat hidungku mimisan dan karena itu aku jadi jatuh sakit.
Aku ingat betul bagaimana Andre langsung menjengukku bersama ibunya. Dengan malu-malu dan wajah yang penuh rasa bersalah, ia meminta maaf.
"Oke, aku maafin," ujarku saat itu. Ketegangan di antara kami pun langsung mencair. Kami kembali menjadi dua sahabat seperti sedia kala.
Di tengah keasyikan kami mengobrol, tiba-tiba si tetangga baru datang. Wanita itu mengucapkan kalimat yang membuatku merasa sangat malu."Maaf, ya gara-gara Tante kalian sampai berkelahi seperti ini. O, ya Tante juga ingin meluruskan bahwa nama Tante adalah Julia."
Kenangan masa kecil itu seketika buyar ketika Andre menyenggol lenganku. "Lo mau balik ke kelas nggak? Udah bunyi tuh belnya."
Aku mengangguk. Karena sedikit tergesa, tanpa sengaja aku menyampar buku milik Andre. "Sorry," kataku sambil memungut buku Andre yang saat ini tergeletak di lantai.
Ketika tanganku meraih buku itu, tiba-tiba selembar foto terjatuh dari balik halamannya. Aku menatap foto itu dengan perasaan campur aduk. Antara rindu, sedih, dan menyesal.
Andre yang melihat perubahan ekspresi di wajahku buru-buru merebut foto itu. "Udah, lo nggak usah mikir macem-macem." Lelaki itu menyelipkan kembali foto itu ke dalam bukunya.
Aku yang sejak tadi masih berjongkok segera berdiri. "Ndre," panggilku pada Andre yang sedang membelakangiku. Saat ia berbalik dan kami saling berhadapan, aku berkata, "sampai kapan lo mau begini terus? Dia udah nggak di sini, Ndre."
Andre membuang muka. Ia menggaruk kepalanya yang kelihatannya nggak gatal. "Ah, ini udah lama ada di sini. Gue lupa ambil. Ini cuma buat pembatas buku kok. Lo nggak usah mikir yang aneh-aneh."
Aku tahu ia berbohong. Nyatanya sampai detik ini Andre masih tidak bisa melupakan sosok perempuan dalam foto itu. Padahal saat perempuan itu masih di sini, ia tak pernah membalas perasaan Andre. Lebih tepatnya ia tidak tahu tentang rasa yang dipendam Andre padanya. Hanya Tuhan, Andre, dan aku yang mengetahuinya.
***
Sambil menenteng tas belanja berisi sisa rempeyek, aku berjalan pulang. Lumayan, rempeyek ini bisa jadi lauk untuk makan nanti.
Di depan gerbang sekolah, aku menghentikan langkahku. Kulihat seorang pria berjas sedang berdiri di depan sebuah mobil hitam. Ketika melihatku, ia lantas bergegas mendekatiku. Tak mau berurusan dengannya, aku pun segera mempercepat langkahku ke arah yang berlawanan.
"Keira, tunggu!"
Meskipun pria itu berulangkali memanggilku, aku tetap meneruskan langkahku. Aku berhenti di trotoar dan melihat kanan kiri. Kenapa di saat seperti ini malah tidak ada angkot atau bus yang lewat, ya?
"Keira!" Pria itu mencengkram lenganku.
"Ih, lepasin!" Aku berusaha melepaskan cengkeramannya yang semakin menguat. "Mau apa Om Jo ke sini?" tanyaku galak.
Pria bernama lengkap Jonathan itu melepaskan cengkeramannya, "ada sesuatu yang harus kukabarkan."
"Om, aku nggak mau dengar apapun. Lebih baik Om pulang."
Bukannya pulang, Om Jo justru menatap tas belanjaku. "Kamu masih jualan rempeyek?"
"Iya," jawabku tak acuh.
"Keira, kamu nggak perlu jualan rempeyek kayak gini. Ikut Om ya," rayunya.
Aku hanya menatapnya kesal. Aku kembali menoleh ke kanan dan kiri mencari kendaraan apapun yang bisa membawaku jauh dari sana.
"Keira, maafkan Om, tapi Om harus melakukan ini." Tiba-tiba saja pria itu kembali mencengkeram tanganku dan berusaha menarikku untuk ikut dengannya.
"Lepasin!" perintahku setengah berteriak. "Aku teriak maling, nih."
Sebelum sempat berteriak, sebuah motor menepi di dekatku. Si pengendara menaikkan kaca helmnya lalu menoleh ke arahku.
"Keira, ayo bareng gue."
Aku melepaskan tanganku dari cengkraman Om Jo yang sudah melonggar. Tanpa berkata sepatah kata pun padanya, aku segera naik ke atas motor Andre, sedangkan cowok itu langsung memacu kuda besinya itu.
***
Sepanjang perjalanan mood-ku berantakan. Oleh karenanya, aku terus membisu walaupun Andre sudah berusaha memancingku untuk bicara.
"Oke deh," ujar Andre akhirnya. "Gue tahu lo kesel, tapi apa nggak sebaiknya lo dengerin dulu penjelasan Om Jo? Siapa tahu dia emang mau ngasih tahu lo hal yang penting."
Penting? Bagiku semua tentangnya itu tidak penting. Kalau tidak ada dia mungkin keluargaku tak akan berantakan seperti sekarang.
"Keira, dia emang pernah ngelakuin kesalahan sama lo, tapi manusia bisa berubah kan? Lo nggak mau ngasih dia kesempatan?"
Kali ini aku membuka mulut, "kesempatan buat ngehancurin keluarga gue lagi?"
Andre menggeleng. "Kayaknya lo butuh es krim, nih, biar mood lo balik lagi."
Lelaki itu membelokkan motornya dan berhenti di depan sebuah toko es krim. Ah, dia memang paling tahu apa yang kubutuhkan saat ini.
***
Makasih buat yang udah baca sampai chapter ini.
Yuk yuk budayakan vote dan comment :)
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Novela Juvenil⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...