Mi ayam yang tersaji di hadapanku tak lagi hangat. Sejak tadi, yang kulakukan hanyalah memainkan sumpit di atasnya tanpa selera. Sebelah tanganku menopang dagu, sementara pandanganku menerawang. Mengingat kembali percakapanku dengan Ayah.
Flashback on
"Dia hanya temanmu atau lebih?"
Aku membalikkan badanku. "Maksud Ayah Gavin?"
Saat itu aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Di satu sisi, aku tidak suka berbicara dengan Ayah, sedangkan di sisi lain aku cukup penasaran pada hubungannya dengan Gavin.
Sebelum Ayah menjawab pertanyaanku, aku berjalan mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya.
"Ayah kenal Gavin?" ulangku.
Bukannya menjawab langsung, Ayah justru mengalihkan pembicaraan. Sepertinya ia sedang berusaha menciptakan obrolan panjang denganku. Karena itulah ia tak mau langsung memberi jawaban.
"Jadi namanya Gavin? Ternyata anak Ayah sudah mulai jatuh cinta ya," godanya. "Tadinya kamu nggak mau ngomong sama Ayah, tapi giliran Ayah menyebut laki-laki itu kamu langsung nyambung. Semoga kamu masih ingat pesan Ayah untuk nggak pacaran."
Bola mataku kuputar malas. "Sudah? Kalau Ayah nggak mau jawab pertanyaanku, aku mau pulang."
"Tunggu," cegahnya. "Jadi begini, Ayah sudah bertemu dengannya, tapi belum mengenalnya. Kami bertemu di lift."
Lift?
"Saat pintu lift terbuka, Ayah melihatnya tengah mematut diri di dinding kaca." Pria itu terkekeh. "Ia tampak salah tingkah saat menyadari bahwa Ayah dan Om Jo melihatnya. Tapi kami belum sempat mengobrol banyak."
Flashback off
Sudah lima hari berlalu semenjak percakapanku dengan Ayah. Selama itu pula Gavin tak pernah muncul di hadapanku lagi. Notifikasi di Line yang biasanya ia dominasi pun mendadak lenyap. Tampaknya cowok itu benar-benar menuruti perkataanku.
Aku kembali mengaduk-ngaduk mi ayam perdana yang kubeli setelah hampir setahun bersekolah di sini. Kenapa aku merasa bersalah pada Gavin, ya? Ternyata benar yang ia katakan beberapa waktu lalu. Ia memang bertemu Ayah di lift.
Namun, sikap anehnya itulah yang membuatku mengambil kesimpulan secara gamblang. Seandainya ia tidak berlaku demikian pasti aku akan percaya padanya.
"Keira!" seseorang menggebrak meja dan duduk di hadapanku.
Secara refleks, aku menolehkan kepalaku ke arahnya. Huh, lagi-lagi Rino. Kenapa peringatan Gavin tidak mempan padanya sih?
"Kok nggak dimakan?" Ia menggerakkan dagunya ke mangkukku.
"Terserah gue," balasku tak acuh.
Hening beberapa saat. Aku masih memainkan miku, sedangkan Rino sepertinya tengah berpikir keras mencari bahan obrolan.
Rino menaikkan sebelah kakinya ke atas kursi seolah sedang berada di angkringan. "Lo tahu nggak? Gue sama anak-anak lain dulu pernah sebel sama lo."
"Bodoamat," kataku.
"Lo nggak pengen tahu kenapa?" pancingnya.
Aku menggeleng. Bukan karena tidak ingin tahu, tapi karena sudah tahu. Dulu saat awal masuk ke sekolah ini, secara tidak sengaja aku pernah memergoki anak-anak sebangsa Rino tengah membolos.
Sekolah ini memang memiliki sistem keamanan yang ketat. Membolos bukanlah hal yang mudah. Namun, anak-anak bandel itu tak kehabisan akal. Dengan memanfaatkan lubang besar yang ada di dinding dekat parkiran, mereka berhasil kabur. Agar tidak ketahuan, lubang itu selalu mereka tutup dengan meja usang yang tak terpakai. Tentu saja dalam melakukan aksi itu mereka membutuhkan anak lain untuk menggeser meja. Dan dapat dipastikan bahwa anak tersebut telah diancam sebelumnya agar tak membocorkan rahasia itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Novela Juvenil⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...