A Fact

1.3K 137 192
                                    

Jantungku berdetak lebih kencang saat kulihat Ayah tengah memarahi Om Jo. Dari celah pintu, aku menguping pembicaraan keduanya.

"Bukannya sudah kubilang jangan beri tahu Keira soal ini?"

Om Jo sedikit menunduk. "Maaf, aku tidak punya pilihan lain. Siapa tahu Keira dapat menyelamatkan perusahaan ini. Seperti yang sering kamu katakan bahwa Keira adalah anak yang cerdas dan dapat diandalkan."

Aku menutup mulutku yang menganga dengan kedua tanganku. Jadi selama ini Ayah menganggapku cerdas? Namun, kenapa ia tak pernah mengatakannya langsung padaku?

"Ini masalahku, bukan masalahnya! Akulah yang akan menyelesaikannya sendiri! Aku--"

"Ayah," selaku sambil berjalan mendekatinya. "Om Jo nggak salah. Keira berhak tahu hal ini." Aku melirik ke arah Om Jo dan memberinya isyarat untuk meninggalkanku dan Ayah.

Om Jo pun menurut.

"Maafkan Ayah, Keira," ucap Ayah dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Seumur hidup, baru kali ini aku melihatnya menangis. "Ayah memang bukan Ayah yang baik. Ayah sudah gagal. Bahkan memenuhi keinginanmu saja Ayah tak sanggup."

Aku menghempaskan pantatku ke kursi. Pikiranku masih kosong, belum kutemukan kata-kata yang tepat untuk menanggapinya.

"Seharusnya dulu saat Ayah masih berada di puncak kejayaan, Ayah lebih memanjakanmu. Seharusnya Ayah membawamu berkeliling dunia, mengunjungi gambar-gambar yang kamu tempel di kamarmu. Membelikanmu hadiah mahal, menuruti keinginanmu, juga--"

"Lupakan," selaku lagi. "Ayah sadar kalau yang Ayah lakukan selama ini adalah yang terbaik? Kalau dulu Ayah manjain Keira, mungkin Keira nggak akan sanggup menghadapi cobaan ini. Kalau Keira udah terbiasa hidup mewah mungkin Keira nggak akan kuat hidup kekurangan begini."

Ayah mulai menangis tesedu. Ia bahkan menundukkan wajahnya sambil menutupinya dengan sebelah tangan. Hatiku terasa teriris, kusentuh pundaknya lembut.

"Ayah, di depan Ayah ada Keira. Ayah nggak malu nangis gini?"

Ayah menurunkan tangannya, tapi ia masih tidak sanggup mengangkat kepalanya. "Ayah merasa semua ini adalah balasan dari dosa-dosa yang Ayah perbuat. Tuhan mengambil anak, kesehatan, juga harta Ayah."

"Ayah, itu semua memang milik Tuhan. Jika Tuhan menginginkannya maka Dia berhak mengambilnya," jelasku.

Perlahan, Ayah mengangkat kepalanya dan menatapku. Matanya merah dan basah oleh air mata. Kerutan di wajahnya semakin terlihat.

"Tapi nggak seharusnya kamu ikut menanggung dosa Ayah. Kamu berhak bahagia, Keira."

Kugelengkan kepalaku sambil memaksakan seulas senyum. "Ada di deket Ayah aja Keira udah bahagia kok. Lagipula, bukan cuma Ayah, Keira juga lagi nebus dosa-dosa yang udah Keira lakuin. Keira bukan anak yang baik, Keira pantas dihukum."

Ayah merentangkan tangannya, mengajakku masuk ke dalam pelukannya. Aku menurut, kupeluk ia dengan erat. Puncak kepalaku diciumnya, rambutku dibelainya. Tanpa sadar, bulir air mataku menetes membasahi baju Ayah.

"Kamu anak baik, Keira. Kalau dulu kamu sempat hilang arah, itu hanya karna kamu sedang mencari jati diri. Dulu kakakmu pun begitu."

Aku sedikit terhenyak. "Kak Dona pernah nakal juga? Kapan? Kenapa Keira nggak tahu?"

"Dulu sekali, tapi setelah itu dia nangis dan minta maaf ke Ayah. Gimana kamu bisa tahu kalau selama ini saja kamu membangun tembok tinggi darinya?" Ayah menghela napas panjang. "Lebih baik sekarang kita doakan saja agar kakakmu bahagia di sana."

Aku mengangguk, lalu berkata lagi,  "Ayah, Keira akan berusaha mertahanin perusahaan Ayah. Yang kita perlukan hanya berpikir lebih kreatif."

"Sstt ... Jangan bicarakan itu dulu, ya. Anggap saja saat ini kita sedang tidak punya masalah apapun."

10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang