Another Goodbye

1.1K 134 242
                                    

Seluruh koper dan barang bawaan lainnya baru saja dimasukkan ke dalam mobil yang kusewa. 

"Ada lagi?" tanya seorang pria berumur empat puluh tahunan yang akan mengantarkan kami ke Bogor. Ia pula yang tadi membantu kami memasukkan barang-barang pindahan. 

Aku menggeleng, "Sudah, Pak. Terima kasih. Kita berangkat sekarang ya, Pak."

Pria itu menganggukkan kepala tanda setuju. Setelah ia masuk ke dalam mobil, Ibu dengan dibantu Mbak Ayu juga ikut masuk. Aku bersyukur Mbak Ayu bersedia ikut kami pindah ke Bogor sehingga aku tak perlu mencari perawat lagi. Perempuan itu malah senang, katanya Bogor lebih dekat dengan daerah asalnya.

Sejak meninggalnya Ayah, Ibu semakin murung. Aku sempat khawatir kondisi kejiwaannya akan terganggu lagi dan terapi yang dijalaninya selama ini menjadi sia-sia. Namun, Mbak Ayu mengatakan bahwa pada pemeriksaan terakhir, dokter bilang tidak ada yang perlu dicemaskan. Sikap murungnya masih bisa ditoleransi.

Sebelum masuk ke dalam mobil, aku memeriksa ponselku. Pesan masuk dari Gavin sudah menumpuk, tapi aku tak membukanya. Aku tak memberi tahunya jika hari ini aku akan pindah. Dan biarlah tetap seperti itu, walaupun jauh di lubuk hatiku, aku ingin melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya.

Mesin mobil dinyalakan. Kumasukkan ponselku ke kantong dan bergegas naik.

Ketika mobil kami telah keluar dari kompleks perumahan, tanpa sengaja netraku menangkap sosok laki-laki yang tengah ngebut dengan vespanya. Aku menolehkan kepalaku, dari kaca jendela mobil belakang, kulihat punggungnya semakin menjauh.

"Gavin," gumamku pelan. Haruskah aku menemuinya? Ayo, Keira, selagi belum jauh, kembalilah! Begitu suara hatiku, tapi ragaku masih bergeming. Kemudian....

"Stop!!" teriakku yang cukup mengagetkan sang supir. Semua orang memandangku bingung ketika mobil telah berhenti. "A... Ada yang ketinggalan." Aku membuka pintu mobil dan cepat-cepat turun.

Sekuat tenaga aku berlari. Dalam hati, aku mengomeli diriku sendiri. Kenapa aku harus lari sejauh ini? Kenapa aku tak minta Pak supir memutar balik mobil saja? Aku tidak sempat memikirkannya karena yang kutahu aku hanya tak ingin kehilangan Gavin. 

Senyum lega terukir di wajahku ketika kulihat Gavin yang masih mengenakan helm tampak celingukan di depan pagar. Peluh mengalir deras di keningku. Aku sedikit membungkuk, memegang lutut seraya mengatur napas.

"Keikei?"

Saat kutegakkan kembali badanku, kulihat Gavin sudah berdiri di hadapanku. Ia juga tampak menahan senyum. "Gue kira gue nggak akan ketemu lo," katanya.

Cowok itu kembali ke motornya. Ia menepuk pelan joknya. "Lo capek kan? Duduk sini dulu, Kei."

Setelah aku duduk di sana, ia memberiku sebotol air mineral yang langsung kutenggak setengahnya.

Hari ini Gavin mengenakan pakaian berwarna biru dongker yang senada dengan pakaian yang kukenakan. Kebetulan sekali.

"Tahu nggak, gue tadi takut banget kalau lo udah pergi. Tadi pagi Andre nelpon gue dan cerita kalau lo mau pindah."

Aku teringat dengan pembicaraan teleponku dengan Andre semalam. Cukup lama kami mengobrol tentang banyak hal. Mengenai fakta bahwa Gavin adalah mantan pacar Dona tidak kuceritakan padanya. Aku hanya mengatakan bahwa hubunganku dan Gavin sedang tidak baik.

"Kenapa lo nggak ngomong sih?" Raut wajah Gavin tampak kecewa. Helm yang ia kenakan sudah  dilepasnya beberapa saat yang lalu.

"Lo sendiri juga nggak mau ngomong jujur soal masa lalu lo," balasku. "Vin, lo masih nggak mau ngomong?"

10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang