Lima bulan kemudian
Deretan buku di hadapanku membuatku pusing. Sejak tadi aku sudah berkutat dengan buku-buku itu di perpustakaan pusat, tapi tak juga kutemukan buku yang kuinginkan. Aku menggerutu kesal dalam hati. Kenapa komputernya harus rusak? Merepotkan saja!
Tanganku menelusuri setiap judul yang tertera, hingga akhirnya mataku berbinar ketika kudapatkan buku itu. Ah, akhirnya. Aku membawa buku itu ke salah satu kursi yang ada di sana. Setelah meletakkannya di atas meja, aku mulai menyibukkan diri mencari teori yang baru saja diajarkan dosenku.
Seseorang menarik kursi di sebelahku. Aku menoleh sedikit, lalu kembali menekuri bukuku. Baru sebentar, aku teringat kembali pada orang itu. Rasanya wajahnya tidak asing. Aku menoleh sekali lagi dan saat itu aku menyadari siapa dia.
"Rino?"
Panggilanku membuat cowok itu menoleh. Ketika melihatku, ia tak kalah kagetnya. "Keira? Lo kok ada di sini? Lo juga kuliah di sini?"
Aku tersenyum kecil, berusaha melupakan fakta bahwa kami pernah memiliki masalah di masa lalu. Harus kuakui, melihat kembali teman yang dulu satu kelas denganku cukup membuatku senang. Tadinya kupikir hanya aku seorang diri yang berkuliah di sini, mengingat universitas ini tidak terlalu populer.
"Iya. Lo juga?"
Rino mengangguk. "Lo ambil jurusan apa?"
Aku menyebutkan jurusanku, lalu bertanya padanya, "Kalau lo?"
"Gue ilmu komputer."
Mataku terbelalak. "Serius? Pinter juga lo."
Rino menggaruk tengkuknya, ia kelihatan salah tingkah. "Hehe, ilkom di univ ini peminatnya dikit makanya gue bisa lolos tes kemarin," cengiran khasnya kembali terlihat.
Detik selanjutnya kami mulai mengobrol. Ternyata Rino tidak semenyebalkan yang kupikirkan. Dia teman mengobrol yang tidak terlalu menyenangkan, tapi lumayan juga. Walaupun awalnya canggung, obrolan kami mengalir panjang, mulai dari ospek, mata kuliah, sampai hal-hal kecil.
Aku jadi teringat pengalaman ospek beberapa bulan yang lalu. Aku cukup bersyukur prosesi ospek tidak semengerikan bayanganku. Jika dibandingkan dengan bully yang pernah kulihat di SMA lamaku, bully jauh lebih mengerikan. Karena masa laluku itu, setiap kali kulihat seseorang dibentak-bentak, kenangan tentang bully kembali terngiang.
Dulu, aku sering membully anak-anak lemah bersama Rachel dan teman-temannya. Sebenarnya, saat melihat mereka menangis, ada rasa bersalah dan risau yang meggerayangiku. Namun, aku masih diam dan mengikuti kehendak Rachel.
Suatu ketika, kami mengerubungi seorang anak kelas sepuluh di kamar mandi. Anak itu terlihat ketakutan. Tiba-tiba Rachel menyuruhku menarik rambut anak itu, tetapi aku masih bergeming di tempat. "Ra, lo denger nggak sih? Buruan!" perintahnya.
Aku menurut. Aku mulai menjumput rambut anak itu dan bersiap menariknya. Sorot mata anak itu semakin ketakutan. Kudengar suara tangisnya yang tertahan.
Kubisikkan sesuatu di telinganya. "Gue nggak akan nyakitin lo. Tapi lo harus pura-pura teriak dan kesakitan. Bisa kan?"
Tanpa menunggu jawabannya, aku mulai berpura-pura menarik rambutnya. Anak ini ternyata menuruti perintahku. Ia mengaduh seperti orang kesakitan.
Setelah merasa puas, kulepaskan rambutnya dari genggamanku. Rachel tersenyum licik dengan tangan terlipat di depan dada. "Sekarang, tampar pipi cewek nggak tahu diri ini sampe biru!" perintahnya lagi.
Aku tersenyum, lalu ...
PLAKK
"Aw," Rachel mengerang kesakitan ketika kudaratkan tamparanku padanya. Tamparanku sebenarnya tidak keras, tapi ia membuatnya seolah-olah ia benar-benar kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...