Friend

2.4K 339 296
                                    

Lorong sekolah tampak lengang ketika aku menyusurinya. Di saat seperti ini, satu-satunya tempat yang ingin kutuju hanyalah UKS. Bayangan kasurnya yang berseprei putih memacu kakiku untuk berjalan lebih cepat.

Ada untungnya juga mendapat hukuman ini, batinku seraya memandang sekeliling ruangan. Untung saja tidak ada orang di ruangan ini sehingga aku bisa lebih leluasa. Aku memejamkan mataku yang sudah terasa berat. Ketika yang lain sedang duduk manis mendengarkan penjelasan guru, aku justru menikmati waktuku untuk tidur.

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, yang jelas ketika terbangun, ruangan ini sudah ramai. Saat membuka mata, hal pertama yang kusadari adalah tubuhku yang terbalut selimut. Pasti ada seseorang yang menyelimutiku diam-diam.

Aku memandang segelas teh yang diletakkan di meja meja kecil di samping kasur. Ada secarik kertas di bawah gelas itu.

'Teh manis untuk perempuan yang manis.'

Aku meremas kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam saku. Layaknya orang yang telah berpuasa seharian, aku segera menghabiskan teh itu hanya dalam hitungan detik.

Tiba-tiba tirai yang memisahkan kasurku dengan kasur sebelah terbuka. Di atas kasur itu, sudah ada Bunga yang sedang menatapku. Sebelah tangannya masih menggenggam ujung tirai. "Hei," sapanya.

"Hei," balasku.

"Dari tadi lo tidur di sini?" tanyanya.

Aku mengangguk tanpa menjawab.

Bunga memasang wajah cemberut. "Enak banget sih, nggak ngerjain tugas malah bisa tidur-tiduran."

Aku memaksakan sebuah tawa. "Tapi lo jangan ikut-ikutan. Nanti gue ketahuan lagi."

"Iya deh iya." Bunga merebahkan tubuhnya di kasur. "Lo kenapa sih akhir-akhir ini jadi pemalas? Kasihan nyokap lo udah susah-susah bikin peyek buat bayar SPP, eh lo malah males-malesan gini."

Aku tak tahu harus menjawab apa sehingga aku pun memilih tertawa. Teman-teman di sekolahku tidak ada yang tahu kalau akulah yang membuat peyek-peyek itu. Sejujurnya, aku tidak pernah sekali pun mengatakan bahwa Ibu yang membuat makanan itu, tapi mereka sendiri yang menyimpulkannya. Yah, mungkin lebih baik kalau mereka berpikir seperti itu.

"Sayang banget tahu nggak," Bunga memiringkan badannya ke arahku. "Lo tu pinter, tapi lo kayaknya nggak sadar sama kelebihan itu."

"Ah, gue biasa aja kok," elakku. "Lo tuh yang pinter."

Bunga melempar bantal ke wajahku. "Ih lo nggak usah nyindir gue, deh." Gadis itu menepuk jidat, kemudian mendudukkan tubuhnya di pinggiran kasur. "Sebenarnya hubungan lo sama Andre tu gimana sih? Kayaknya Andre perhatian banget sama lo. Tahu nggak, pas lo keluar dari kelas, si Andre mohon gitu sama Bu Tari biar lo boleh masuk lagi."

Setengah mulutku terbuka saking terkejutnya. Walaupun Andre sering melakukan hal-hal yang tak terduga untukku, aku tak pernah menyangka kalau ia sampai senekat itu. Terlebih, Bu Tari adalah salah satu guru killer yang paling disegani murid-murid.

"Eh, malah dia deh yang kena batunya. Bu Tari malah nyuruh dia milih ikut keluar atau tetap di kelas," lanjut Bunga.

"Yah, akhirnya dia milih tetep di kelas kan?" tebakku.

"Lho, emang lo nggak ketemu sama dia tadi? Dia milih keluar tuh." Kini Bunga menatapku penuh heran.

"Hah? Masak sih?"

Bunga mengangguk mantap. "Gue kira tadi dia malah nyamperin lo."

***

"Ndre," panggilku pada seorang lelaki yang sedang duduk di perpustakaan sambil membaca buku.

Andre menoleh sambil membetulkan posisi duduknya. "Keira? Lo udah bangun?"

Aku duduk di sampingnya. "Makasih ya tehnya. Gue tahu gue emang manis, lo nggak perlu nulis begituan."

"Lho, emang gue nulis apaan?" tanya Andre kebingungan. "Lo ngomongin teh apa sih?"

Aku tercengang mendengar kalimat yang meluncur dari mulutnya. "Lho, jadi teh dan tulisan itu bukan lo yang buat?"

Melihat ekspresiku yang juga bingung, Andre malah tertawa. "Gue bercanda. Iya emang gue yang nulis. Habis kalau gue nggak nulis lo pasti nggak bakal senyum-senyum sendiri kan waktu minum?"

"Ih, gue nggak senyum-senyum, kok," protesku. Aku berdehem. "Ndre, lo ngapain sih pake ikutan keluar waktu pelajarannya Bu Tari?"

Andre menutup buku di hadapannya. "Gue nggak suka aja kalau ada guru yang bikin hukuman semacam itu. Kalau ada murid yang nggak ngerjain PR harusnya dia dihukum pakai hukuman yang bikin dia jera sekaligus pinter, contohnya nulis esai atau apalah, bukannya nyuruh keluar. Yang ada bukan jera, tapi ketagihan."

"Terserah lo deh, untung bukan lo gurunya."

Andre tertawa, sedangkan aku hanya memandangnya. Laki-laki di sebelahku ini begitu perhatian padaku. Sejak dulu ia selalu begitu. Sejak kami kecil dan hidup bertetangga. Yah, sebelum akhirnya aku pindah ke rumah Ibu. Sayangnya, ia selalu memandangku sebagai teman, tidak lebih. Aku cukup sedih dengan fakta itu. Namun, aku tetap bersyukur. Kehadirannya sudah cukup membuatku sadar bahwa ternyata masih ada orang yang menyayangiku.

***

Hai semua, budayakan vomment ya

Nb. Itu yang ada di mulmed Andre ya

10 Reasons Why [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang