Dengan gontai, aku memaksakan kakiku melangkah mendekati cafe yang tinggal beberapa meter lagi jaraknya. Kalau boleh memilih, aku benar-benar ingin pulang sekarang. Namun, mau bagaimana lagi, aku tak bisa membiarkan Gavin terus menunggu di sana. Dalam hati, aku tak henti mengomel. Kenapa sih dia tidak pulang saja?
Sebelum membuka pintu cafe di hadapanku, aku mulai menata perasaanku. Kuambil ponselku untuk melihat pantulan wajahku di sana. Sepertinya mataku sedikit sembab. Sejak tadi aku telah berusaha menahan air mataku, tapi gagal. Aku sempat menangis saat menaiki ojek online. Untung saja si abang ojek tak menyadarinya.
Ketika kubuka pintu cafe, tampak Gavin di salah satu meja tengah melambai ke arahku. Tanpa tersenyum atau menunjukkan ekspresi apapun, aku berjalan ke arahnya. Aku menarik kursi di depannya dan mendudukkan badanku di sana.
"Lo tau nggak sih berapa lama gue nungguin lo?" omelnya.
Kubiarkan Gavin terus mengomel, sedangkan aku hanya terdiam dan menunduk. Omelan Gavin sama sekali tak membuatku terusik, sebaliknya, kata-kata yang dilontarkan Tante Ira tadilah yang mengganggu pikiranku. Aku masih ingin menangis, karena itu aku tak mau mendongakkan wajahku menatap Gavin.
"Lo kenapa?" tanyanya lagi.
Aku tak menjawab. Sebagai gantinya, kurogoh tasku dan kukeluarkan sebuah kotak makan yang sejak pagi ada di sana. Aku meletakkan kotak makan itu di meja dan menggesernya maju mendekati Gavin.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap Gavin dengan wajah datar. "Maaf, gorengannya pasti udah nggak enak. Lebih baik jangan lo makan."
Setelah mengatakannya, aku bangkit dari kursi, lalu berjalan keluar dengan tergesa. Sempat kudengar Gavin memanggilku, tapi aku tak mengindahkannya. Suasana hatiku sedang buruk sekarang. Aku sedang ingin sendiri.
"Keira!"
Aku mempercepat langkahku begitu mengetahui bahwa Gavin menyusulku keluar. Kepalaku celingukan, mencari transportasi umum yang bisa kugunakan agar segera menjauh dari sana. Ada rasa sesal dalam diriku karena tak meminta abang ojek menungguku tadi.
Aku terpaksa berhenti. Kukeluarkan ponselku dan secepat mungkin memesan ojek online. Namun, sebelum sempat membuka aplikasinya, seseorang merebut ponselku. Aku menoleh dan mendapati Gavin dengan ponselku di tangannya. "Balikin!" perintahku seraya berusaha mengambil kembali benda itu darinya.
Gavin menyembunyikan ponselku di balik punggungnya. Cowok itu terus menghalang-halangiku. "Lo kenapa kabur sih?" tanyanya.
Aku lelah, aku tak berusaha mengambil ponselku lagi. "Gue nggak kabur. Sekarang kembaliin ponsel gue!"
Seperti yang kuduga, meminta ponselku kembali tidak akan mudah. Gavin tak menuruti keinginanku, ia justru menatapku lekat-lekat.
Diperlakukan begitu, secara refleks aku mundur beberapa langkah. "Lo ngapain sih?"
"Lo habis nangis ya?" terkanya. "Lo kenapa?"
Sebelum aku menjawab, terdengar sebuah suara yang berasal dari ponselku. Gavin melihat ponselku sebentar. "Ada panggilan dari Andre. Gue jawab ya."
Cepat-cepat aku menghentikannya. "Jangan!" ujarku setengah berteriak. "Jangan diangkat!"
Gavin memandang heran ke arahku. Payah! Pasti wajahku terlihat sangat panik tadi, batinku.
"Oh, gue tahu." Gavin tersenyum. "Lo lagi marahan kan sama Andre?"
Aku tidak menjawab. Kutolehkan kepalaku ke arah lain.
"Ra, semakin lo diem semakin gue tahu isi hati lo. Lo beneran lagi marahan kan sama Andre. Dan lo pikir gue nggak tahu kalau lo suka sama dia?"
Mendengar kata 'suka,' aku langsung menoleh. "Lo bilang apa tadi? Suka? Jangan ngomong sembarangan deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Reasons Why [END]
Teen Fiction⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun...